“ Hello Hosina chan ♥…”.
Hosina meringis pelan, dirabanya pistol Hunter yang tersembunyi dibalik jaketnya, lalu memegangnya erat. Peluh menetes di dahinya. Nafasnya naik turun menatap sesosok perempuat cantik dengan taring menjulang keluar dari bibirnya yang mungil tak jauh didepannya. Ia memegang Pistol Hunter itu erat, suara Hyuga terngiang-ngiang ditelinganya.
‘Jangan membuat gerakan seakan kau punya Pistol itu pada mereka. Gunakan pistol itu jika kau benar-benar terdesak’.
Hosina mengigit bibirnya , ‘sekarang ini bisa dibilang terdesak kan Hyuga? Benar kan?’, pikirnya pada diri sendiri. Matanya terlihat takut namun tetap waspada melihat gadis itu didepannya, atau lebih tepatnya –Gomaisme itu– .
“ siapa kamu sebenarnya?”, tanya Hosina lantang, bahkan hampir terdengar seperti sebuah bentakan.
“ aku?”, gadis cantik itu menatap jari-jari kukunya yang terlihat begitu terawat, ditiupnya kuku-kuku itu dengan pelan.
“ jahatnya kamu, tidak mengenal siapa aku”, orang itu mengangkat wajahnya, Hosina baru menyadari bahwa mata birunya dan rambutnya yang merah itu membuatnya terlihat menyeramkan.
“ akukan teman sekelasmu”, lanjutnya dengan suara sedikit manja sambil berjalan perlahan mendekati Hosina.
Hosina sendiri semakin menggenggam erat pistol tersembunyi ditangannya, sambil mengumpat kasar dalam hati. Bisa-bisanya ia tidak mengingat gadis ini, gadis yang kala sebelum kejadian itu ia lihat menjadi pusat diantara gadis-gadis lain yang tengah asyik merias wajah. Hosina mengata-ngatai dirinya sendiri, betapa bodohnya ia baru mengingatnya sekarang.
“ apa maumu !?”, tanya Hosina dengan nada sedikit bergetar, namun ia menutupi itu agar terlihat kuat dan tidak sedang merasa ketakutan.
“ mauku?”, gadis itu menghentikan langkahnya.
Ia tertawa pelan,
“ kamu”, lanjutnya singkat dan membuat denyut nadi Hosina meningkat.
“ ya kamu”, gadis itu dengan kecepatan diluar batas manusia pada umumnya sudah berada dihadapan Hosina, memojokkannya kedinding ruangan. Hosina hendak mengeluarkan pistolnya, namun itu semua gagal. Gadis itu sudah menarik tangannya dan mencengkramnya ditembok, membuat Hosina sedikit merintih. ‘tidak…’
“ atau bisa kubilang…”, gadis itu membenamkan kepalanya dirambut hosina, dijilatnya perlahan leher Hosina, taring-taringnya yang menggesek kulit Hosina terasa hampir merobeknya. “darahmu…”.
Hosina meringis, ia ingin menangis, namun ketakutan membuatnya hanya dapat diam tanpa melakukan apapun.
Ia serasa ingin berteriak sekencang-kencangnya sebelum gadis itu melepas cengkramannya, lalu berjalan menjauh membelakanginya. Diambilnya sebuah dasi yang tergeletak dilantai dengan satu tangannya. Hosina memutar bola matanya dua kali, ia bahkan tidak sadar kapan ia menjatuhkan dasi dari Hyuga itu. Namun ia sadar seberapa buruk dampak yang bisa ditimbulkan karenanya. Ketika ia menoleh, taring itu sudah lenyap dari wajahnya. Ia telah kembali menjadi gadis cantik seperti yang pertama kali ia lihat.
“ dasi ini…”, gadis itu mendekatkan hidungnya pada dasi itu, dan mendengusnya seakan dia adalah seekor serigala atau anjing pencari jejak milik kepolisian.
“ milik kaihoto hyuga bukan ? ”, katanya dengan nada bertanya, ia menatap Hosina sambil mengangkat sebelah alis matanya.
Hosina terdiam, namun ia berpikir jika tak ada gunanya ia diam. Gadis ini pasti benar-benar mengerti dengan istilah ‘bau’ yang pernah Hyuga katakan dengannya.
“ ya.”, jawab Hosina singkat, tanpa nada, tanpa sebuah anggukan.
“ sudah kuduga”, gadis itu menaruh dasi itu kesalah satu meja disebelahnya. Meja yang berisi dengan alat-alat percobaan, tabung-tabung kimia kecil maupun yang besar, dan sebuah kompor kecil yang biasa digunakan untuk melarutkan berbagai macam larutan tertentu yang sering ia lihat di detiap acara ilmiah.
“ tadinya aku pikir dia ada disini, baunya benar-benar tercium mengelilingi ruangan”, kata gadis itu sambil bertumpu pada meja disebelahnya, tangannya menekan dasi Hyuga dengan kuat.
Tadinya
Hosina menelan ludahnya sekali, lalu tangannya dengan berusaha sebisa mungkin tidak membuat gerakan yang mencurigakan saat jari-jari kecilnya meraba punggung. Berpura-pura gatal, lalu dengan tak begitu erat memegang gagang pistolnya sekali. Sangat pelan, agar kain tipis jaketnya tidak tertarik menekan dan memperlihatkan sebuah benda keras yang menonjol dibaliknya. Jangan sampai,
“ bau yang wangi, sewangi minyak wangi beraroma jeruk dari salah satu koleksi parfum bermerek mahal milikku”, lanjut gadis itu sambil memejamkan mata.
Hosina mengernyit pelan, namun tatapannya dibuat seolah ia sama sekali tidak takut. Ia ingin sekali mengeluarkan pistol tersembunyi dibelakang punggungnya, menarik pelatuknya dengan cepat, membuat sebuah suara letusan yang menggema, lalu beriringan dengan darah yang memuncrat dari dahi gadis itu. Tidak. Dia tidak akan setega itu. Mungkin darah itu akan memuncrat diperut gadis itu, atau persis dijantungnya. Namun ia pikir sekarang bukan saatnya, sekarang ia harus mencoba tenang namun tetap waspada. Gadis dihadapannya ini bisa membunuhnya kapan saja, kapanpun yang ia mau, dan kapanpun yang ia suka. Tapi sekarang belum saatnya ia harus membunuh orang ini, bukan, iblis ini.
“ya, tadinya aku benar-benar berfikir seperti itu, dia ada disalah satu sudut tempat ini, tak terlihat. Mungkin disana”, gadis itu menunjuk sudut paling depan sisi kanan ruangan yang tertutup sebuah lemari yang cukup besar. “atau disana”, jari telunjuknya bergerak kesamping meja guru, bukan, belakangnya. Di belakang meja itu terdapat beberapa tumpukan kardus kosong yang sama sekali tidak telihat berdebu. “atau bisa jadi disana”, katanya lagi. Kali ini Hosina sedikit mengerutkan alisnya tidak mengerti, ia menunjuk kearah atap-atap ruangan, bukan, sudut-sudut atap ruangan. “ ya, bisa saja sih”, ia mengangkat kedua bahunya, lalu terkekeh pelan. Kekehan yang terasa berbeda.
“ tapi ternyata bau itu berasal dari bawah kakiku, tepatnya, sesuatu yang kuinjak ”, gadis cantik itu mengambil dasi yang tadi ia taruh diatas meja, kemudian memegang dasi itu dengan dua jari, seakan dasi itu adalah seekor tikus mati, atau kecoa, atau binatang menjijikan lainnya. “ini”, sahutnya sambil tetap tertawa pelan.
Hosina menyibakan poninya yang hampir menutupi mata, lalu entah mengapa keberaniannya muncul saat dirinya mulai berbicara dengan sedikit serak.
“ aku tidak mengerti apa maumu, membunuhku? Menusuk leherku dengan taringmu? Meminum darahku sampai habis lalu menjilat bibirmu sambil mengomentari tentang darahku padaku yang sudah tak bernyawa?”, tanyanya tanpa ragu-ragu. Namun tetap saja badannya sedikit bergetar, sehingga ia cukup yakin wanita didepannya ini takkan menyadari getaran itu.
Gadis itu tersenyum,
“ perkenalkan namaku Misami Tsuyu ”, katanya seakan ia baru saja diajak berkenalan dan ditanyai siapa nama lengkapnya. Ia tersenyum simpul, bola matanya yang biru pekat menatap bola mata Hosina yang juga berwarna biru. Namun warna bola mata Hosina terlihat lebih lembut dan tidak terlalu mencolok. Sebenarnya, sama sekali tidak terlihat mencolok.
“ kau tahu Hosina?”, gadis itu berjalan pelan menuju meja guru, lalu dengan santai duduk diatas meja tersebut, menaruh kedua tangannya diatas pahanya, roknya yang pendek tertarik keatas membuatnya makin terlihat seksi, dan tetap terlihat menakutkan.
“ aku mungkin bisa saja membunuhmu seperti yang tadi kau katakan”, katanya sambil tersenyum lebar seakan perkataannya itu cukup lucu untuk didengar.
Otot tangan Hosina menegang, jarinya yang tersembunyi dibelakang punggungnya mulai mengeratkan pegangannya pada pistol Hunter dibelakangnya. Ia mulai menarik nafas panjang.
“ mungkin, ah bukan, pasti.”, lanjutnya.
Tubuh hosina menegang, debarang jantungnya mengencang. Semakin erat ia memegang gagang pistol yang tersembunyi dibelakang punggungnya.
“ tapi tidak sekarang”.
Apa?
“ ya, tidak sekarang”, gadis cantik yang mengaku bernama Misami itu menghela nafas panjang dan terdengar seakan ia enggan mengatakan hal itu, “belum saatnya”.
Misami bangun dari posisi duduknya, ia menepuk-nepuk bokongnya seakan ada debu, namun tidak terlihat sebutir debupun berterbangan dari roknya yang mulai terlihat kusut. Kemudian ia tertawa pelan menatap Hosina.
“ sudah, jangan terlalu lama menggenggam erat senjata itu. Tanganmu bisa lecet-lecet”, katanya. Membuat Hosina hampir terjengkal,
Bagaimana dia bisa tahu?.
“ pistol itu hanya berisi enam atau tujuh peluru. Sebaiknya kau simpan baik-baik, karena kau tahu, ya, diluar sana banyak sekali gomaisme yang ingin membunuhmu”, katanya dan alhasil rahang Hosina mulai mengeras. “untuk saat ini kau aman, mereka tidak akan bisa keluar dari kelas selama jam pelajaran”, katanya. Kemudian ia mengambarkan tanda kutip dengan kedua jarinya diudara, “kecuali aku”.
“ ambil ini.”, Misami melempar dasi milik Hyuga, tangan Hosina refleks terangkat untuk menangkapnya sebelum sebuah dentingan keras terdengar jelas ditelinga kanannya.
Tidak, pistol itu terjatuh!.
Hosina melirik kearah pistol hunter berukuran standart yang terjatuh kelantai yang putih dan sedikit berembun karena udara dingin yang dikeluarkan oleh 2 buah AC, berputar-putar beberapa kali, sebelum menabrak dinding dan berhenti bergerak. Hosina segera berjongkok untuk mengambil pistol itu, lalu, saat pistol hunter itu sudah ia pegang dengan erat dan ia menoleh untuk melihat reaksi gadis cantik itu, gadis itu tak ada disana, tepatnya perempuan itu sudah tidak ada diruangan itu. Hosina memutar kedua bola matanya menyapu setiap sudut ruangan, tidak ada tanda-tanda kehidupan disana, selain dia.
Cepat sekali ia menghilang !.
Sial! ,
Oh tidak, bukannya itu justru bagus?
Hosina berbicara sendiri didalam hatinya, posisinya masih sama saat ia meraih pistol yang terjatuh itu. Bahkan pistol itu masih melayang diatas lantai dan belum sempat menyentuh pinggangnya sedikitpun.
Pintu kembali berdenyit dan Hosina hampir melompat kebelakang, mengangkat pistolnya, dan menekan pelatuknya. Dan untung semua itu belum sempat ia lakukan ketika melihat seorang berbadan tegap dan jangkung berdiri dihadapannya, didepan pintu yang mulai bergerak menutup rapat.
Hyuga.
Laki-laki itu menatap Hosina dengan bola matanya yang tajam dan berwarna semerah darah, melihat senapan ditangannya, lalu melihat matanya lagi. Dan seakan tanpa rasa bersalah sedikitpun ia mulai bertanya.
“apa aku melewatkan sesuatu?”.
Hosina menggigit bibir bawahnya, dan mengernyitkan alisnya. Dengan tatapan sedikit tajam pada Hyuga (dan sungguh, entah sejak kapan ia mulai berani melakukannya) ia mengumpat pelan.
^w^ ^w^ ^w^
Hyuga duduk di satu-satunya kursi yang menghadap kekursi-kursi lainnya. Sebuah meja segi empat yang cukup besar dan terlihat mewah. Berukirkan corak-corak salju berwarna biru dan pahatan seekor kelinci yang sedang mengadahkan kepalanya keatas dari dalam sebuah keranjang kecil berwarna emas, bukan, itu pasti emas asli. Dilihat dari manapun itu pasti emas asli. Kursi-kursinya seragam dengan pahatan bertuliskan ‘Rabbit’ diatasnya. Salah satu benda yang menurutnya mahal diantara semua benda yang ada diruangan luas dan mewah ini. Ruang tamu rumah Hyuga, ya. Dia sadar sejak awal jika Hyuga pasti bukan orang biasa, ia pasti orang kaya yang terpandang. Mengingat Tanaka yang sampai tidak bisa berfikir dua kali saat mendengar ia mungkin akan berurusan dengan salah satu dari kedua orang tuanya. Hati Hosina sedikit tertusuk saat ia memikirkan orang tuanya, ayahnya, ayahnya yang mungkin masih terbujur kaku dan mulai membusuk didalam ruang tamunya.
Oh tidak, aku hampir melupakanya!
“ Ayahku…”, Hosina membuka pembicaraan saat sebuah pelayan yang mungkin sama sekali tidak menyadari jika tuannya itu bukan manusia biasa menaruh nampan berisi dua buah mug mungil berukir sebuah gambar burung yang sedang terbang di meja, namun tidak dengan tekonya. Ia terlihat kembali kebelakang dan tak lama terdengar suara yang sedikit bising, mungkin itu suara blender atau semacamnya.
“aku harus menemuinya… bukan”, gadis itu menghentikan pembicaraanya selama beberapa detik.
Ia menggigit bibirnya pelan,
“ menemui jenazahnya…”, katanya sambil berusaha menahan kantung air matanya yang sudah mulai menebal.
“ mungkin belum ada yang menemukannya. Oh, bukan. Seharusnya akulah yang menemukannya”, lanjutnya dengan suara yang sedikit serak.
“ ayahmu sudah ditangani”, kata Hyuga membuat Hosina hampir melotot kepadanya.
“ maksudmu?”, tanya Hosina.
“ dia sudah ditangani oleh salah satu pengawal kepercayaanku. Tinggal menunggu keputusanmu apakah ia harus dikremasi terlebih dahulu atau langsung dikubur. Dan sekarang ayahmu berada dalam suatu kamar yang tidak akan diketahui siapapun… Belum saatnya publik tau apa yang telah terjadi, atau mereka akan mengira kau sendirilah yang telah membunuh ayahmu. Mungkin…”, jelasnya saat pelayan wanita berpakaian maid berwarna hitam kembali masuk, kali ini dengan sebuah teko yang berdiri tegak dinampannya. Ditaruhnya teko yang cukup besar itu diatas meja, dihadapan kami. Asap dari lubang teko yang hangat sedikit mengepul diudara, wanginya yang harum membuat siapapun pasti penasaran dengan apa yang ada didalamnya.
“ silahkan tuan, Milk Fruit Coffe sesuai dengan pesanan anda”, katanya sambil menaruh nampannya didepan perut. Ia tersenyum sedikit genit kepada Hyuga, seakan pelayan yang kira-kira umurnya tidak jauh diatas Hyuga itu akan menarik perhatiannya.
Dia hanya dapat berharap.
“ Kopi panas dicampur dengan susu vanilla lotte diatasnya, dengan sedikit sari air buah yang masih segar, serta tambahan sedikit gula putih”, katanya seakan ia tahu pasti semua yang diminta Hyuga padanya, suaranya sedikit menekan saat ia berkata. “dan tanpa ada Sirup Moza setetespun”.
Hyuga hanya mengangguk seakan berterimakasih. Sikapnya yang sangat acuh itu membuat pelayan itu terdengar sedikit mendengus kesal. Lalu ia berjalan pergi menuju… entahlah, mungkin dapur?.
“ minumlah”, katanya pada Hosina.
Dan Hosina yang merasa kerongkongannya sangat kering segera menegakkan mug yang ditaruh dihadapannya, lalu mengangkat gagang teko yang terasa begitu hangat ditangan. Memiringkannya perlahan hingga sebuah aliran hangat berwarna hitam cerah keluar dari dalam lubang teko. Asapnya yang menggumpal diudara membuat Hosina hampir terlena untuk menjilat bibirnya.
Wangi sekali.
“ katakan padaku, jika kamu juga meminum ini”, kata Hosina dambil menaruh kembali teko itu ketempat asalnya, meniup-niup permukaan air berwarna hitam yang kini sudah berada didalam mug untuknya itu, menghilangkan kemungkinan kemungkinan air tersebut masih panas dan dapat membakar lidahnya.
Hyuga menggeleng sangat pelan,
“ tidak akan”, katanya seakan dengan itu semua pertanyaan menjadi jelas.
“ tanpa Sirup Moza? Apa rasanya?”, lanjutnya sambil menghela nafas dalam.
“ Sirup Moza? Apa itu? Semacam sirup mahal berkelas bintang lima?”, tanya Hosina lagi. Seakan ketakutannya pada Hyuga sudah menghilang. Entah kenapa, ia selalu merasa ayahnya berada disisinya. Berbisik ditelinganya, mengatakan ia tidak boleh cengeng, tidak boleh lemah, dan harus selalu tegar serta kuat. Itulah yang sedang ia coba praktekan belakangan ini.
“ hanya kiasan”, jawab Hyuga sambil menatap kearah Hosina yang sedang mengangkat mugnya lalu menyeruput sedikit air dari dalamnya. Wajah Hosina yang tersenyum lebar setelah mencicipi membuatnya berpikir mungkin rasanya sangat enak, bagi manusia pada umumnya, dan yang pasti bukan dirinya.
“ katakan padaku kau tak akan muntah mendengarnya”, ia bergumam.
“ Sebenarnya sirup itu berupa… darah… manusia, yang menyumbangkan darah mereka dan berfikir mungkin darah itu akan digunakan untuk orang-orang yang sedang sekarat diluar sana”, katanya lagi, dan ada pemelanan nada pada saat ia mengucapkan kata ‘darah’, seakan pembantu genitnya sedang bersembunyi dibalik tembok dan menguping pembicaraan mereka.
Hosina terbatuk pelan, mugnya ia taruh kembali diatas meja.
“ aku hampir muntah”, ucapnya setengah menyindir.
“ aku tahu itu”, Hyuga menaruh kedua telapak tangannya dibawah dagu, menumpu kepalanya diatas meja . Baju seragamnya yang sudah terlihat begitu kusut tidak seimbang dengan wajahnya yang cukup mempesona, dan tentu saja, misterius.
“ jadi ”, Hyuga bergumam sambil menunggu Hosina menyeruput tetesan terakhirnya, kelihatannya gadis itu sangat tidak ingin di ganggu saat ia sedang menikmati minumannya. Poninya dikesampingkan kekanan dan dijepit, dan rambutnya masih dibiarkan tergerai menutupi pundaknya.
“ apa yang mau kau bicarakan tentang gadis yang katamu kau temui didalam Laboratorium itu?”, tanya Hyuga, dan Hosina sedikit merinding. Ditaruhnya mug yang telah kosong dipermukaan meja, lalu ia mengerutkan alisnya pelan dengan mata yang seolah sedang mengingat-ingat.
“ gadis itu…”, Hosina menggigit bibirnya hingga hampir terasa perih.
“ dia mengaku namanya Misami Tsuyu”, lanjutnya sambil menatap mata Hyuga yang saat itu juga sedang menatapnya, tanpa berkedip. “ dia salah satu teman sekelas kita”.
Hosina berdecak pelan,
“ sial, bahkan aku merasa tidak pernah bertemu dengannya sama sekali ketika dia masuk kedalam ruang Lab”, lanjutnya.
“ ya, aku tahu dia”, Hyuga mengambil mug kecilnya, lalu mendeting-detingkannya pada sisi meja, seakan ia sedang dilanda kebosanan.
“ dia salah satu gomaisme terpandang, ayahnya cukup dekat dengan ayahku…”, lanjutnya lalu meletakkan kembali mug yang ia pegang dimeja.
“ aku sering berpikir, ayah dan ibumu seperti apa?”, Hosina memasang wajah penasaran, namun kata-katanya ditarik lagi saat Hyuga menyipitkan mata padanya. “tidak usah dijawab”.
“ kau tak akan pernah mau mengenal mereka”, kata Hyuga.
“ apakah mereka Gomaisme juga?”, tanya Hosina lagi.
“ ya”, jawabnya singkat. Kemudian mukanya sedikit memucat, bukan, menampakkan ekpresi sedih bercampur marah. Seolah dia enggan menghadapi kenyataan bahwa ia salah satu dari gomaisme.
Sebuah pintu besar disisi kanan Hosina terbuka perlahan, tidak ada sama sekali suara berdenyit pelan seperti rumah Hosina atau ruang Laboratorium disekolahnya. Seorang gadis kecil yang terlihat begitu manis berdiri diantara pintu yang terbuka, salah satu bagian dari rambutnya yang ikal dikuncir sedikit keatas menggunakan jepitan rambut berbentuk bulat berwarna hijau yang manis. Ia menggunakan sebuah gaun santai yang indah berwarna hijau, dengan renda-renda berwarna putih dibagian kerah, pergelangan tangan, dan bagian bawahnya. Sebuah pita berwarna putih terikat erat diantara dada kecilnya yang mulai terlihat, dan ransel berwarna putih menggantung dipunggungnya. Tangannya sedang memegang erat boneka yang pernah Hosina liat saat pertamakali bertemu. Hosina menyimpulkan, bawa kemanapun anak itu pergi, boneka itu selalu berada bersamanya. Wajahnya yang sedang tersenyum manis memudar saat matanya bertemu dengan mata Hosina.
“ well”, katanya seakan ia sangat fasih berbahasa inggris.
“ ternyata kita kedatangan tamu lagi hari ini”, lanjutnya dengan tatapan sinis. Chisako tersenyum ketika ia melihat Hyuga, ia berlari-lari kecil menuju kakaknya itu. Rambutnya yang hitam kecoklatan terlihat melambai pelan saat ia berlari-lari kecil kearah Hyuga, dan memeluknya manja. “ Onii san~”.
“ Chisako ga mau perempuan ini menginap lagi”, pintanya manja sambil melirik kearah Hosina. Mengingat semalam gadis didepannya itu tertidur lelap dikamar kesayanganya, dan tadi pagi ditemuinya seorang pelayan sedang memegang baju seragamnya.
Chisako berdecak dalam hati,
“ Onii san terlalu baik padanya”, katanya menghembuskan aura ketidakikhlasan dan kecemburuan yang membuat bulu kuduk Hosina sedikit berdiri.
“ jangan bicara begitu, Chisako”, Hyuga menatap mata adiknya dengan setengah alis terangkat, “semalamkan aku sudah membiarkanmu tidur dikamarku”, lanjutnya.
Chisako mengelus pipinya pelan, dan Hosina baru menyadari kalau disana sudah tidak ada bekas cakaran Hyuga tadi malam. Pipinya sudah terlihat putih, bersih, mulus dan tanpa noda sedikitpun yang mengganggu. Bahkan tidak ada satu bekaspun menempel diwajahnya. Ternyata gomaisme sangat cepat sembuh seberapa parahpun lukanya, atau… mereka memang tidak akan pernah mati?.
“ demi perempuan ini Onii-san mencakar wajah Chisako”, katanya lagi.
“ aku tahu”, Hyuga menepuk tangan adiknya sekali sebelum berkata, “ sudah sana! kembali kekamarmu, dan ganti pakaianmu! ”. bentaknya pelan.
Chisako cemberut,
“ tega sekali, onii chan membentaku ! ”, omelnya sambil menatap sinis pada Hosina, lalu berlari cepat pergi dari ruangan itu. Diikuti oleh tatapan mata Hosina dan Hyuga.
“ dia marah padaku”, keluh Hosina pelan saat sosok itu menghilang.
“ biarkan saja”, Hyuga menghela nafas panjang sebelum menatap Hosina lagi “jadi, ayo kita lanjutkan pembicaraan tadi”.
“ baiklah”, kata Hosina sambil mengangguk, ia mengangkat mug kosongnya lalu menaikan sebelah alisnya pada Hyuga, dalam arti ia ingin meminta segelas air Milk Fruit Coffe lagi. Setelah Hyuga mengangguk, sambil tersenyum Hosina menaruh mugnya dimeja lalu mengambil teko yang masih terasa hangat itu.
“ gadis itu… maksudku, Misami.”, Hosina menuangkan minuman hangat dari dalam teko itu lagi kedalam mug, asap-asap hangat mulai muncul seakan membelai pipinya pelan. Aroma wangi mulai merayap kedalam lubang hidungnya.
“ dia bahkan tahu jika aku menyembunyikan sebuah pistol Hunter”, lanjutnya sambil mulai meniup-niup permukaan air di mug lagi.
“ ya, yang kutahu gadis itu memang memiliki kelebihan yang sama denganku”, kata Hyuga membuat ujung permukaan mug yang hampir menempel dibibir Hosina berhenti, dan mug itu ditaruhnya lagi keatas meja.
“ maksudmu?”, Hosina mengernyitkan alisnya.
“ ya, apa kau pernah mendengar suara-suara yang menyuruhmu pergi dari kelas saat pertama kali kau masuk kedalam kelas?”, Hyuga kembali bertanya.
Hosina memutar bola matanya beberapa kali ,
Ternyata itu suara Hyuga…
“ yap, kupikir aku ingat, suara itu menyuruhku segera pergi kan?”, tanya Hosina.
“ ya…”, jawab Hyuga sangat singkat, ia terdiam sebentar untuk membiarkan Hosina menyeruput minuman hangatnya terlebih dulu.
“ jadi maksudmu, gadis itu bisa membaca pikiranku”, Hosina mengerutkan alisnya lagi saat cairan hangat mulai terasa dikerongkongannya.
“ ya…”, jawab Hyuga dengan kata-kata yang hanya diulang.
“ seperti pikiranku sekarang ini?”.
Hyuga menggeleng,
“ tidak, hanya untuk jarak jauh tidak bisa… Hanya bisa dalam satu ruangan, satu udara, dan satu karbondioksida”, jelasnya. Ia menyenderkan punggungnya kebelakang, lalu menutup matanya, dan berfikir. Bagaimana ia harus menyelesaikan masalah ini, melindungi gadis dihadapannya ini, dan menepati ‘janji lamanya’ itu.
Pandangan mata Hosina belum lepas dari Hyuga. Dipegangnya lagi mugnya, lalu menyeruput perlahan-lahan. Lelaki itu semakin dilihat semakin mempesona, matanya sangat menyeramkan tapi memiliki misteri tersendiri. Belum lagi bibirnya yang hampir tidak pernah ia lihat tersenyum, otot-otot dan tulang-tulangnya yang kokoh membuat seragamnya membentuk bidang. Dan postur tubuhnya yang mirip sekali… mirip sekali dengan salah satu tokoh komik yang pernah ia baca, Shinichi Kudo kalau tidak salah namanya. Sangat sempurna dan pispek.
Hosinya tersenyum dalam hati,
‘Aku mungkin bisa jatuh cinta padanya, tapi tidak akan karena dia juga salah satu Gomaisme’
“ aku juga tidak mengharapkan kau bisa jatuh cinta padaku.”, perkataan Hyuga itu membuat Hosina hampir menyemprotkan air dimulutnya kewajah Hyuga.
Apa?!
“ dan hanya karena aku ini Gomaisme”, lanjut Hyuga dengan mata yang tetap terpejam, tangannya sudah dilengkungkan kebelakang menumpu kepalanya dari belakang, tanpa tersenyum sedikitpun.
“ a. apa maksudmu?”, Wajah Hosina memanas, kali ini bukan disebabkan karena uap hangat dari mug didepan wajahnya, namun karena malu. Ia benar-benar lupa kalau Hyuga bisa membaca atau mendengar pikiran orang, betapa bodohnya dia.
“ jangan pura-pura tak tahu”, Hyuga membuka matanya, bola matanya terlihat sedikit mengkilat karena terkena cahaya lampu.
“ kau mengucapkan itu dalam hati, sesaat setelah kau memuji-muji penampilanku”.
“ a. aku”, Hosina mulai terlihat gugup dan kelabakkan, namun ia merasa sudah tidak bisa membantah apapun lagi. Iapun menghela nafas panjang.
“ aku lupa kalau kau bisa mendengar isi pikiran orang”, akunya.
“ maaf aku telah lancang, anggap saja aku tak pernah mengatakannya dan lupakanlah”, Hosina menaruh kembali mugnya untuk yang kesekian kali. Padahal didalamnya masih ada setengah gelas minuman lagi.
Hyuga mengangkat sebelah alisnya,
“ untuk beberapa bagian, akan tetap kuingat”, lanjutnya, membuat Hosina makin tak mengerti dan malu. Namun sebelum gadis itu membuka bibir mungilnya untuk berbicara, Hyuga memotong, ia bangkit dari kursinya dan berjalan-jalan pelan.
“ harus kujelaskan hal ini padamu”, katanya tanpa menoleh pada Hosina, namun gadis itu tetap memperhatikannya.
“ kau orang terpilih, aku pernah mengatakan hal itu padamu sebelumnya. Tapi, apa kamu sudah paham apa maksud dari orang terpilih?”, tanya Hyuga. Dan kali ini ia mulai menoleh dan menatap mata Hosina.
Gadis itu menggeleng,
“ mungkin untuk makanan? Mereka lapar?”, tebaknya.
“ mereka dapat memakan apapun, mereka bisa membunuh manusia kapan saja. Ada begitu banyak manusia didunia ini. Mereka dapat membunuh semuanya setiap hari”, jelas Hyuga. Ia membuang wajahnya lagi dan berjalan mengelilingi lukisan-lukisan abstrak didinding ruangan yang sejak ia kecil sudah tergantung disana.
“ dan mereka melakukannya?”, tanya Hosina.
“ tidak”, jawab Hyuga cepat sambil menatap salah satu lukisan yang lebih baik dari pada lukisan tak jelas lainnya. Samar-samar, ia dapat melihat seekor kuda yang sedang berlari kencang diantara warna-warna yang bercampur.
“ karena kami, para Gomaisme. Memiliki larangan keras untuk membunuh manusia. Kami hanya diperbolehkan untuk meminum pil-pil darah, Sirup dari darah binatang atau dari darah manusia yang secara tak sadar menyumbangkannya, atau dari darah seseorang yang baru saja mati”, terlihat sedikit keragu-raguan dimata Hyuga sebelum ia berkata, “seperti ayahmu”.
“ ayahku?”, bola mata Hosina melebar, ia kembali merasakan jantungnya seperti tertusuk sesuatu yang tajam, namun ia berusaha untuk tegar dan tidak akan menangis dengan ucapan-ucapan Hyuga selanjutnya.
“ ya, ayahmu”, Hyuga menoleh kearah Hosina, lama.
“ Ayahmu, sepertinya ia dibunuh terlebih dahulu, mungkin dengan semacam Pukulan dikepala atau…”, Hyuga memotong pembicaraannya saat melihat raut tegang bercampur sedih diwajah Hosina. Iapun berdehem pelan,
“ ya, anggap saja kau sudah mengerti”, lanjutnya.
Hosina terdiam, ia lalu mengingat sesuatu dan mulai membuka mulut. Namun pandangannya beralih pada air hangat di mugnya, dihadapannya.
“ apa kau tahu, ya… aku yakin kau tahu tentang ini…”, ia terdiam sebentar.
“ tadi saat aku keruang Laboratorium, aku memelihat beberapa tabung berisi darah darah…”, Hosina melirik cepat kearah Hyuga yang juga sedang menatapnya, menunggu kata-kata yang akan ia keluarkan selanjutnya.
“ apa itu benar-benar darah?”, tanyanya.
“ ya…”, jawab Hyuga datar.
“ apa kalian gila?. Maksudku, itukan ruangan umum. Pasti manusia biasa akan menyadarinya… seperti… aku?”, lanjutnya, ada penaikan nada suara saat ia mengatakan kata-kata itu.
“ tidak”, Hyuga menggeleng pelan, ia berjalan menuju dinding, kemudian bersandar. Tangannya dilipat diperut. Seragamnya yang bergesekkan dengan dinding membuatnya terlihat semakin kusut.
“ mereka tidak akan sadar, karena kami telah menyetingnya seperti itu. Manusia akan berfikir jika itu hanya larutan biasa, dan tidak akan pernah memakainya.
“ lalu, kenapa aku menyadarinya?”, tanya Hosina lagi, ia mengernyit.
“ karena gadis itu memang menginginkanya”, jawab Hyuga cepat, ia mendongakkan kepala keatap ruangan. Sinar menyilaukan dari lampu yang terlihat begitu mewah membuatnya sedikit menyipitkan mata.
“ ada yang ingin kutanyakan lagi”, Hosina mengangkat tangannya seakan Hyuga adalah seorang guru. Pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalanya membuat dia merasa tidak begitu tertarik dengan minuman yang masih tersisa di mugnya.
“ tanyakan saja. Kau harus tahu semuanya”, Hyuga menoleh kearah Hosina lagi.
“ baiklah, yang pertama. Kenapa aku bisa menjadi orang terpilih? Apa yang dimaksud dengan orang terpilih? Dan kenapa tidak ada manusia lain yang masuk kekelas itu selain aku? Apa itu semua memang disengaja? Tadi kamu belum selesai menjelaskannya padaku.”, tanya Hosina panjang lebar.
Hyuga menyipitkan matanya,
“ apa-apaan itu?. Pertanyaan pertama, tapi didalamnya ada empat pertanyaan sekaligus”, katanya sambil berdecak.
“ aku ingin tahu”, Hosina menatap Hyuga dengan tatapan berharap, meminta.
Hyuga menghela nafas pendek,
“ baiklah… begini, seperti yang kubilang sebelumnya. Kami para gomaisme tidak boleh membunuh manusia atau langsung meminum darah mereka yang masih segar. Untuk memenuhi kebutuhan kami, kami diperbolehkan meminum darah binatang, pil-pil, dan lainya, tadi sudah kukatakan padamu”, Hyuga terdiam beberapa detik untuk mengambil nafas.
“ jadi, Hanya ada satu kesempatan dalam 5 tahun sekali. Hanya satu manusia yang akan dipertemukan dengan kami. Kami yang belajar di sekolah bercampur manusia. Dan hanya ada satu kesempatan. Satu manusia, untuk satu kelas. Gomaisme yang sudah diberi kesempatan, gagal berhasilnya, ia tidak akan mendapatkan kesempatan lagi saat ia sudah naik kelas. Dimulai dari kelas 1 SMA , gomaisme yang sudah naik kekelas 2 akan pindah kesekolah khusus untuk kami, sekolah yang tidak akan diketahui oleh siapapun kecuali kami. Karena itu, kamulah yang terpilih. Mungkin salah satu dari senior atau pimpinan kami menaruh namamu dikelas kami, secara tidak langsung. Karena itu kamu harus berhati-hari, mereka tidak akan melewatkan kesempatan emas ini”, jelasnya.
Hosina memijat-mijat pelipisnya karena merasa tidak enak, ia mengambil mugnya dan meminum air yang masih terasa hangat didalamnya, namun tidak sehangat sebelumnya sampai habis. Ia mengambil nafas untuk menenangkan diri.
“ Lalu pertanyaan kedua, mereka semua tahu rumahmu bukan?. Mereka bisa saja datang kesini dan membunuhku”, ia kemudian menoleh lagi pada Hyuga.
“ tidak akan, mereka tidak akan berani membunuhmu jika ada aku disini, apalagi rumah ini milik ayahku. Tidak akan pernah. Ini adalah salah satu tempat teraman yang tidak akan pernah didatangi oleh mereka”, jelasnya.
“ maaf sebelumnya jika aku bertanya ini, tapi bagaimana dengan chisako?. Atau orang tuamu? Mereka juga gomaisme bukan? Chisako bahkan pernah ingin membunuhku”, tanya Hosina lagi dengan wajah ragu-ragu, takut Hyuga akan tersindir dengan pertanyaannya, namun ternyata tidak. Lelakiku itu malah berjalan mendekati kursi yang tadi ia duduki, lalu kembali duduk.
“ bukankah sudah kukatakan padamu, mereka tidak akan memburumu. Kedua orangtuaku telah melewati batas kesempatannya. Dan chisako belum cukup umur, ia masih duduk dikelas lima SD. Mungkin kemarin ia hanya menakutimu karena marah kamarnya digunakan”, jelas Hyuga lagi.
“ satu pertanyaan lagi”, Hosina mengangkat tangannya.
“ apa yang harus kita lakukan selanjutnya?. Dan Kenapa kamu tidak memburuku seperti yang lain? Apa yang membuatku bisa percaya padamu? Bukankan kamu bilang kesempatanmu itu hanya sekali? Berarti kamu membuang kesempatan sekali seumur hidup itu, jawab aku!”, lanjutnya dengan nada sedikit memaksa.
Hyuga berdecak kecil,
“ itu empat pertanyaan, bukan satu”, dengusnya.
“ sudah jawab saja!, buat aku percaya padamu!”, Hosina sedikit melotot.
“ baiklah, pertama, kenapa aku tidak membunuhmu, karena aku sudah berjanji”, Hyuga mengusap-usap telapak kanannya.
“ janji apa?”, Hosina mengerutkan alisnya penasaran, namun laki-laki didepannya itu malah memasang mimik marah padanya.
“ kau tak perlu tahu”, katanya cepat.
“ yang pasti yang harus kita lakukan adalah membuat mereka gagal mengambil darahmu sampai kenaikan kelas”, lanjutnya.
“ Apa!?”, seru Hosina kaget, pundaknya sampa terangkat.
“ lama sekali!”, komentarnya.
“ ya, cukup lama… Namun memang segitu waktu yang diperlukan ”, Hyuga kemudian meronggah saku seragamnya, mengeluarkan sebuah kapsul berwarna merah putih kemudian memanggil sebuah nama dengan sedikit teriak. Tak lama kemudian pelayan tadi datang, kali ini rambutnya disanggul kebelakang, membuatnya terlihat sedikit kelihatan lebih tua.
“ ambilkan aku air”, pintanya tanpa menatap perempuan itu, kemudian perempuan itu masuk dan dalam hitungan kurang dari dua menit ia kembali dengan sebuah nampan dengan segelas air putih diatasnya.
“ ini tuan”, katanya dengan suara yang terdengar manja.
“ baik, kau boleh kembali kedalam, oh tunggu”, Hyuga mengambil gelas itu, lalu menaruhnya dimeja. Ia mengambil mug kecil miliknya, lalu ditaruh diatas nampan yang dipegang perempuan itu.
“ bawa saja kedalam, tidak usah dicuci. Masih bersih, belum kupakai”, jelasnya, kali ini ia menatap mata pada pelayannya itu. Dan sukses membuat pipi perempuan itu memerah, lalu menangguk pelan.
“ baik tuan”, katanya sebelum ia berjalan pergi. Dan entah benar atau tidak Hosina merasa perempuan itu sedikit bernyanyi pelan, sangat pelan. Seolah ia sangat senang karena ditatap oleh tuannya. Ia melirik lagi kepada Hyuga sebelum ia pergi dari ruangan itu.
Perempuan genit.
“sepertinya ia suka padamu”, kata Hosina sambil berdecak panjang.
“ aku sudah tahu, ia sangat menjijikan. Bahkan tidak jarang ia mengedipkan sebelah matanya padaku”, ucap Hyuga sambil sedikit bergidik.
“ dan kau suka padanya?”, tanya Hosina.
“ tidak akan”, Hyuga mengusap lehernya pelan menahan rasa jijik. Kemudian ia kembali pada Pilnya, menepuknya kesudut meja sehingga pil itu terbuka, lalu menjatuhkan serbuk-serbuk berwarna putih kedalam air putih. Perlahan tapi pasti, serbuk itu membentuk beberapa gelembung-gelembung kecil sebelum warnanya pelan-pelan berubah menjadi merah terang.
Hosina menggigit bibirnya sebelum bertanya,
“ apa itu?”, ia menyipitkan matanya melihat air yang tadinya sangat jernih telah berwarna merah yang begitu terang dan mencolok. Ia membuat kesimpulan didalam otak kanannya sebelum ia mengucapkannya, “darah?”.
“ ya”, Hyuga menatap wajah Hosina yang mulai pucat.
“ jangan melihatku begitu, aku juga butuh makan”, lanjutnya.
“…minum…”, Hosina mengoreksi.
“ kami tidak pernah minum, bagi kami meminum darah sama dengan memakan sepiring nasi berlauk pauk yang sering kalian makan”, Hyuga menjelaskan singkat sambil mengangkat gelasnya, lalu mendekatkan gelas itu kebibirnya, dan meminumnya. Saat Hyuga meminum cairan itu, ruangan terasa begitu sunyi. Hosina melihat Hyuga meminum cairan itu dengan cepat seakan sudah seminggu lelaki itu belum pernah makan dan minum, sampai cairan itu telah sepenuhnya berpindah kedalam lambungnya, dan gelas kaca ditangannya kosong. Hyuga kemudian menaruh gelas kosong itu kembali kepermukaan meja.
“ kau membuatku merinding.”, Hosina mengakui sambil meraba pergelangan tangannya.
Hyuga menjilat permukaan bibirnya sendiri,
“ kau harus terbiasa melihatnya. Aku dan Chisako akan selalu meminum darah sehari tiga sampai lima kali”, katanya.
“ orang tuamu?”, Hosina membulatkan matanya.
“ mereka tidak tinggal disini, mereka ada dirumah yang lain. Jadi kau bisa tinggal disini tanpa ragu-ragu”, jawab Hyuga sambil mengusap bibirnya dengan kerah seragamnya, jorok.
“ tunggu, apa maksudmu? Aku tinggal disini?”, tanya Hosina kaget.
Hyuga mengangguk.
“ lalu bagaimana dengan rumahku?, dan lagi aku harus…”, Hosina belum sempat menyelesaikan bicaranya karena Hyuga memotong,
“ jangan khawatir, telah kuurus semuanya. Semua baju, benda-benda penting, dan apapun yang bisa digunakan dirumahmu telah dibawa kesini, semuanya telah diurus pelayan pribadiku. Termaksud kunci rumahmu”.
“ pelayan pribadi? Maksudmu wanita genit tadi?”, Hosina mengerutkan alisnya.
“ bukan, pelayan pribadiku, laki-laki”
“ Tunggu”, kata Hyuga sebelum ia mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya, sebuah handphone yang sama sekali belum pernah Hosina lihat mereknya. Hyuga menekan sebuah tombol –hanya satu!– lalu mendekatkan handphonenya ketelinga.
“ ya, ini aku Hyuga. Cepat kamu datang keruang minum utama didepan… ya… ya… cepat, jangan buat aku harus meneleponmu dua kali… ya… baiklah.”, katanya dengan seseorang disudut jaringan teleponnya. Hyuga kemudian terlihat sedang mengunci handphonenya sebelum ia memasukkan kedalam kantong sakunya kembali.
“ dia akan datang, sebentar lagi. Tunggu saja”, katanya pada Hosina.
Hosinapun menghela nafas panjang.
^w^ ^w^ ^w^
Hosina menjatuhkan badannya disebuah ranjang yang sangat empuk setelah seorang lelaki paruh baya, dengan rambut beruban, badan tinggi, kurus, dan tegap. Memakai jas serta dasi pita berwarna hitam membawakan tiga buah koper miliknya. Beserta beberapa barang dirumahnya yang sekarang sudah berpindah keruangan yang sangat mewah dan ber-AC ini. Baju-baju dan seragamnyapun bahkan sudah berada didalam lemari berukir tanda salib ditengah-tengahnya.
“ Kiota”, gumam Hosina saat menyebutkan nama yang tertera disebuah katu tanda pengenal yang diberikan lelaki paruh baya tadi, pelayan pribadi Hyuga. Lelaki tua itu memberinya sebuah kartu untuk jaga-jaga apabila Hosina membutuhkan sesuatu.
“ aku bahkan nggak tahu bagaimana cara menghubunginya, handphone ku bahkan tidak kupegang dan entah kemana”, keluh Hosina. Ia sedikit menghela nafas. Lalu badannya menegang ketika sebuah dering yang sangat tak asing ditelinganya terdengar, bersamaan dengan bergetarnya meja kecil dari kayu berwarna hitam tak jauh disamping ranjangnya. Hosina segera bangkit dan membuka laci kecil pada meja tersebut, ternyata HPnya ada disana!. Hosina bahkan hampir bersumpah entah itu Hyuga maupun Kiota,pelayan pribadinya sangat jeli sehingga bisa mendapati handphone usangnya ini. Handphone dengan 3 fungsi : 1) Telefon , 2) Sms, 3) E-mail. Sekilas ia melihat nomor asing terpampang dilayar HPnya. Hosina segera menekan tombol berwarna Hijau,
“ Mikoto disini”
“ ya, kau”, suara diseberang sana terdengar begitu berat dan dalam, Hyuga.
“ oh, Hyuga. Ada apa?”
“ aku lupa memberi tahumu tadi”, katanya, nadanya terdengar sangat datar.
“ apa itu?”
“ tadi aku sudah menghadap ke Kepala Sekolah.”,Hyuga terdiam sebenar.
“ kau sudah nggak dikelas itu lagi”
“ maksudmu ?”, Hosina sedikit mengerutkan alis tidak mengerti.
“ ya, itu. Kau sudah tidak dikelas itu lagi, kelasku, Sepuluh Tujuh. Sekarang kau sudah pindah kesepuluh satu, ada bangku kosong disana. Dan kepala sekolah sudah mengizinkan”, ada nada seakan Hyuga berkata –kepala sekolah pasti mengizinkan – dalam nada bicaranya.
“ mulai besok kau belajar dikelas itu”
“ Hah? Serius?”, ada semburat senyum lebar pada bibir Hosina.
“ yeah, kapan aku pernah nggak serius?” , koreksi Hyuga, dan Hosina membenarkan dalam hatinya.
“ lalu, bagaimana denganmu?.”
“ aku akan tetap dikelas itu, tentu saja. Aku kan berbeda denganmu.”, jelasnya.
“ benarkah? Tapi…”
Sambungan terputus.
Dan Hosina mengumpat dalam hati, ‘cowok nggak sopan!’. Kemudian ia mengoreksi sedikit dari pemikirannya.
Well, dia memang tidak pernah sopan.
========================= To Be Continued======================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar