Matahari adalah sumber kehidupan di dunia ini. Tanpa matahari dunia bukanlah dunia yang sebenarnya. Karena yang dapat kita lihat adalah kegelapan yang amat sangat. Dengan matahari, dunia terasa lebih indah.
Bagaimana dengan matahari yang ada di dalam diri kita?. Apakah sudah bersinar cerah?. Ataukah masih redup-redup? Manusiapun memiliki matahari di dalam jiwanya. Matahari yang dapat membuka mata hatinya untuk menjadi lebih berguna dan menyadari arti penting kehidupan yang sesungguhnya. Namun, apakah semua manusia di dunia ini telah menyadari masing-masing sinar mentarinya itu?. Aku tidak tahu, orang lainpun tidak akan pernah tahu. Yang dapat mengetahui hal itu hanyalah dirinya sendiri.
Itulah yang selalu aku pikirkan selama ini. Tanpa henti, dan tanpa pudar. Untuk apa kita hidup jika ujung – ujungnya kita meninggal juga?. Untuk apa sebenarnya kita berusaha jika akhirnya usaha itu akan pudar dalam diri kita?. Buat apa kita bernafas jika nanti pada akhirnya kita akan tergeletak tak berdaya.
“ Hai Amel”, sapa seorang temanku, Reza. Sesungguhnya aku malas bergaul seperti anak-anak pada umumnya. Toh ujung-ujungnya kita bakalan pisah juga dengan seiringnya waktukan?. Paling nanti yang ada hanya isak tangis dan kesedihan untuk berpisah. Namun Reza adalah teman masa kecilku yang sudah kukenal dekat. Sudah 16 tahun kita bersama, jadi kupikir mungkin kita akan bersosialisasi dengan waktu yang cukup lama. Jadi aku sering berbincang pada Reza, hanya Reza. Yah…, hanya Reza. Teman – teman sekolahku menganggapku orang yang sombong. Aku tak pernah ngobrol selain dengan Reza, tidak pernah pergi kekantin. Dan tidak pernah bangkit dari bangku selain ada keperluan penting. Akupun tidak peduli dengan semua itu. Toh, satu tahun lagi kita semua akan berpisah.
“ Nggak ke kantin?”, tanyanya, aku hanya tersenyum dan menggeleng.
“ Kenapa?, dikantin sekarang ada lauk baru loh?. Bebek presto”, katanya lagi seraya mengambil bangku di meja sebelahku, lalu duduk.
“ Murah?”, tanyaku dengan pandangan lurus.
Reza menggaruk-garuk kepalanya.
“ Yah…, dibilang murah sih enggak… tapi lebih murah dari pada yang biasanya loh!, hanya sepuluh ribu”, jelasnya.
Huh!, buat apa buang-buang uang sepuluh ribu untuk membeli makanan yang hanya sekejap saja dirasakan. Setelah turun ke kerongkongan, sudah tak terasa lagi. Mendingan makan lauk dirumah. Tak usah mengeluarkan biaya, tapi cukup mengenyangkan.
“ Oh…”, desahku singkat.
“ Kok cuma ‘oh’?, ayo kita makan disana? Semua orang bilang enak loh!”, ajaknya dengan wajah berbinar – binar.
“ Nggak ah, lo aja !”, kataku malas lalu membuang muka ke arah jendela. Untungnya posisi dudukku sangat strategis, di dekat jendela. Jadi aku sering menatap keluar, sambil melihat orang yang berlalu lalang.
“ Kok gitu?”, Reza memasang mimik kecewa.
“ Ayo donk Mel, sekali ini saja… dari pada duduk nggak jelas disini terus… apa itu bokong nggak sakit?”, bujuknya membuatku agak sedikit tersindir. Kenapa sih orang tuch suka mengatur-ngatur kehidupan orang lain?. Hidupku ya hidupku, hidupmu ya hidupmu. Itulah motoku sejak kecil, dan sungguh aku akan sangat sebal jika ada seseorang yang ikut campur dalam kehidupanku.
“ Apa urusan lo?, pliss donk Rez… jangan bikin gue jadi sensi”, aku melirik Reza sedikit, seolah ingin berkata secara baik – baik.
“ Ya sudahlah…”, Reza menyandarkan badannya pada penahan kursi.
“ Tapi lain kali lo harus temenin gue kekantin ya?”, katanya dan lagi – lagi aku hanya tersenyum tanpa memberi respon sama sekali. Inilah yang biasa aku lakukan, setidaknya saat bersama Reza. Entah apa yang membuatnya betah berteman denganku. Padahal aku hanya bicara seperlunya dengannya. Inipun yang terbaik dari yang terbaik dalam bersosialisasiku. Karena aku hanya akan bicara pada orang lain jika itu memang butuh pembicaraan, misalnya minta tugas nilai pada guru. Selebihnya?, tidak pernah dan untuk apa?. Tidak ada untungnya bagiku.
* * * *
‘Dimanakah matahariku?’, itulah yang lagi-lagi aku pikirkan setiap aku melangkah masuk ke dalam rumahku. Rumah yang selalu orang bilang besar, namun hanya aku yang tinggal di dalamnya. Orang tuaku meninggal saat aku berumur 10 tahun, entah apa yang membuat mereka pergi dari dunia ini. Yang kudengar mereka kecelakaan dan kehabisan darah. Tapi bagaimana dan kapanpun tidak pasti. Karena mereka terlalu sibuk dan sangat jarang berkomunikasi denganku. Sekarang kehidupanku dibiayai oleh kakak almarhum ayahku. Setiap minggu dia mentransfer uang ke rekening bank milikku dengan jumlah yang cukup besar, tapi aku tak pernah berfikir untuk memakainya. Paling-paling aku hanya memakainya untuk membeli barang yang penting saja. Misalnya pakaian, bahan makanan, dan biaya keperluan sekolah. Selebihnya akan selalu tersimpan di rekeningku.
Apakah aku memiliki matahari di dalam jiwaku?. Tapi mengapa matahari itu tak pernah muncul dan tak pernah terasa?. Mengapa sampai sekarang batinku selalu penuh dengan pertanyaan yang tak pernah bisa terjawabkan?. Mengapa alur kehidupanku sama sekali tidak ada yang berubah?. Berjalan mengikuti aliran waktu. Hanya umur dan raga yang berbeda?. Tapi yang lainnya?, kurasa tidak ada.
Kujatuhkan badanku di kasur sebelum aku mengganti pakaianku. Menatap langit- langit kamar yang sudah kotor dan penuh dengan sarang laba-laba. Jujur, selama ini aku tidak pernah membersihkan rumah ini. Jangankan bagian yang sulit, bagian yang dapat kujangkaupun rasanya berat. Bibiku sering menyarankanku agar memakai jasa pembantu. Tapi aku tak pernah setuju, karena itu artinya aku harus bersama seseorang yang bukan siapa-siapaku dalam satu rumah, dan berdua saja. Terima kasih, tapi itu tidak akan pernah terjadi.
Lamunanku tersadar saat hpku bergetar, segera kuraih dengan setengah hati. Kulihat nama yang terdapat di layar sana…..Reza…., ngapain lagi dia menelfonku?.
“ Ya hallo”, sapaku dengan nada datar.
“ Hai… lagi dimana?”, tanyanya yang bagiku nggak penting banget.
“ Di rumah”, jawabku singkat dan jelas.
“ Di rumah lagi?, waduuh… lo ini gimana sih?, masa selama ini lo hanya menghabiskan waktu di rumah dan di sekolah saja sih?”. Yak!, pasti dia akan meminta sesuatu. Aku hafal banget dengan nada suaranya yang seolah-olah diperlembut.
“ Gimana kalau kita jalan keluar?”. Tuh kan… apa kubilang?!.
“ Malas ah”, jawabku. Aku membuka kancing bajuku sambil bangkit dari kasur.
“ Kok gituu?”, rengeknya seperti mencoba untuk merayu.
“ Ya sudah deh, kalau begitu gue main kesana ya!”, lanjutnya ketika tidak mendapatkan respon sedikitpun dariku.
“ Eehh… tunggu!”
Sambungan terputus, bagus banget!. Aku ingin segera tidur dan bersantai. Baru saja aku selesai memakai baju, pintu kamarku terbuka secara tiba-tiba. Otomatis aku berteriak, karena aku belum menyempurnakan letak pakaianku. Setelah benar, aku langsung menimpuki orang itu dengan bantal tanpa ampun. Reza sampai meringis dibuatnya.
“ Ngapain lo disini!?, masuk ke rumah orang tanpa izin lagi!”, jeritku.
“ Ya sorry, abis pintu rumah lo terbuka lebar sih, gue pikir maksudnya gue disuruh langsung masuk ke dalam”, jelas Reza sambil terus melindungi dirinya dari benturan-benturan empuk nan menyakitkan. Aku langsung menghentikan aksiku, aku baru ingat kalau tadi aku belum menutup pintu dan langsung masuk kedalam kamar. Aku langsung terkekeh malu.
“ Yee… malah ketawa!, lo belum mandi ya?”, tanya Reza sambil menatapku dari atas kebawah, dan aku hanya mengangguk.
“ Ya ampun!, anak cewek jam pulang sekolah belum mandi?, ngapain aja neng?”, katanya sambil mengacak-acak rambutku yang mulai kusut dan tidak terawat. Aku tidak membantah sama sekali, karena memang begitulah kenyataannya. Aku malas mandi, malas ngapa-ngapain, dan malas bergerak. Namun anehnya aku sama sekali tidak gemuk-gemuk. Apa mungkin karena ini sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil?.
“ Mandi gih?, masa gue udah dandan rapih-rapih lonya amburadul begitu?”, perintahnya sambil mengambil handuk lalu melemparnya padaku.
“ Ogah! Gue nggak mau, kebiasaan gue nggak pernah mandi setiap sore!”, jawabku sambil melempar balik handuk kepada sang pelempar tadi.
“ Lo kenapa sih Mel? gue liat dari dulu lo tuh nggak berubah-rubah?, kenapa sih lo selalu menyendiri dan bermalasan seperti ini?”, tanyanya sambil menatapku sedikit aneh.
“ Ini nggak ada urusannya sama lo!”, jawabku dengan nada agak tinggi.
“ Tapi gue ngerasa heran aja, kenapa dari dulu lo nggak pernah mau berusaha untuk berubah Mel?”, tanyanya lagi tetap pada pendiriannya. Aku sudah malas kalau begini.
“ Reza!, ini nggak ada hubunganya sama lo!”, bentakku agak kasar, raut wajahkupun kuyakin sudah agak terlipat.
“ Dan kenapa setiap gue nanya hal ini sama lo, lo selalu saja langsung emosi?”, Reza menatapku penuh keseriusan.
“ Reza!!!”, bentakku sambil menatapnya dengan mata nanar. Aku nggak mau membahasnya!, nggak mau!. Ini semua malah membuatku makin pusing untuk memikirkannya.
“ Mel?, kok lo malah malah jadi nangis sih?”, tanyanya.
“ Siapa yang nangis sih Rez… gue nggak nangis kok?”, jawabku cepat.
“ Lo nggak usah bohong Mel, gue kenal lo dari kecil… gue udah tau baik buruknya elo… dan gue tau elo mau nangis kan?, ada apa sih?” Reza mendekatiku perlahan, aku hanya menggigit bibirku hingga terasa perih.
“ Ya ampun Mel… kenapa lo masih belum bisa terbuka sama gue?, padahal gue sudah berteman sama lo dari dulu?, apa gue sebegitu nggak dapat dipercayanya?”,ungkapnya.
“ Bukan gitu Rez…”, aku hanya menggeleng sambil duduk diatas kasur.
“ Lalu kenapa elo nggak pernah berubah dari dulu?, lo nggak pernah mau bergaul ?, lo nggak pernah mau merawat diri lo sepenuhnya ?, lo selalu jaga jarak sama orang lain, dan lihatlah… kamar lo ini kotor dan penuh dengan sarang laba-laba? Padahal kalau dibenahin sedikit saja pasti akan terlihat lebih indah?”, tanyanya bertubi-tubi hingga membuatku semakin binggung.
“ Susah ngejelasinnya Rez… susah… mungkin lo nggak bakal bisa ngerti”, aku menunduk kebawah menatap jari-jari kakiku.
“ Gue mungkin bakal ngerti Mel… belum dicoba kok sudah mengambil kesimpulan? Mel … jujur sama gue… gue bakal bantu lo sebisa gue...”, katanya dengan nada yang seolah ingin meyakinkanku.
Aku menghela nafas panjang sebelum menatap matanya.
“ Lo tahu nggak Rez, apa yang selalu gue pikirkan selama ini?”, tanyaku.
“ Mana gue tahu, lonya aja belum kasih tahu”, candanya. Namun saat sadar aku tak meresponnya, dia langsung terdiam kemudian menggeleng “ Gue nggak tahu!”.
“ Gue sampai sekarang masih belum merasakan adanya matahari di dalam sini”, kataku sambil menunjuk ke arah dadaku.
“ Matahari?”, Reza mengerutkan alisnya, hingga urat-urat dahinya terlihat menyembul.
“ Iya, matahari… setiap orang pasti memiliki matahari di dalamnya… tapi sampai sekarang gue masih belum merasakannya… jadi gue nggak ngerti akan arti hidup sebenarnya”, aku menatap tegas Reza. Kali ini dia tidak berguming. Dia hanya diam menunggu kata-kataku selanjutnya.
“ Gue kadang berfikir. Untuk apa kita hidup jika ujung-ujungnya kita meninggal juga?. Untuk apa sebenarnya kita berusaha jika akhirnya usaha itu akan pudar dalam diri kita?. Buat apa kita bernafas jika nanti pada akhirnya kita akan tergeletak tak berdaya ?. Untuk apa kita memiliki banyak teman jika nantinya hanya ada kesedihan saat perpisahan?, untuk apa kita makan jika hanya terasa sampai kekerongkongan saja?, untuk apa kita tersenyum kalau nantinya kita akan menangis? Untuk apa kita bersih-bersih jika nantinya akan kotor juga?, untuk apa kita mengatur hidup, jika pada akhirnya kita akan masuk dalam dua alam lainnya?”, tanyaku dengan panjang dan bertubi-tubi. Kulihat Reza hanya terdiam seolah tak percaya bahwa seorang Amel memiliki pikiran yang dangkal seperti ini.
“ Lo liat rumah gue, orang-orang bilang gue beruntung memiliki kekayaan sebanyak ini. Padahal bagi gue rumah sebesar inipun akan terasa hampa tanpa ada orang yang menyayangi di sisi kita?”, aku melirik Reza sekali lagi, dia masih terdiam. Tuhkan, dia nggak bakalan bisa mengerti sama sekali.
“ Jadi sering kali gue berfikir, gue ngerasa hidup itu nggak ada artinya sama sekali… dan gue berfikir untuk tidak terlalu mengaturnya”, aku bangkit dari dudukku untuk mengambil minum.
“ Tuh kan, lo nggak….…”, belum selesai aku menuntaskan perkataanku, terdengar suara tawa langsung membahana dari arah belakangku. Otomatis aku langsung menoleh, apa-apaan ini?!. Reza malah asyik tertawa setelah mendengar curhatanku, seakan-akan menganggap remeh semua itu.
“ Apanya yang lucu?!!”, bentakku dengan sangat kesal.
“ Gini deh!, sekarang lo cepet mandi dan ikut gue ke suatu tempat”, perintahnya tiba-tiba sambil melempar handuk padaku sekali lagi.
“ Hah?, kemana?, ngapain?”, kataku heran.
“ Sudah sana cepetan mandi!, jangan banyak nanya dulu, lihat saja nanti”, serunya sambil mendorong- dorongku masuk kedalam kamar mandi. Aku hanya pasrah dengan pikiran yang penuh pertanyaan. Reza mau ngapain sih?!.
* * * *
Aku sama sekali tidak mengerti kenapa Reza membawaku kepanti asuhan?. Tapi setiap kali aku bertanya, dia selalu menjawab “ Lihat saja nanti! “. Sampai pada akhirnya Reza mengajakku ke taman di suatu panti asuhan. Di sana terlihat banyak anak kecil yang sedang berlari-lari dan bermain dengan riangnya. Tapi aku sama sekali belum paham, apa tujuan dari semua ini.
“ Lo lihat deh anak-anak itu”, katanya sambil menunjuk ke arah anak-anak kecil yang sedang bermain tersebut.
“ Hah?, memangnya ada apa dengan mereka?”, tanyaku.
“ Bisa lo bayangin nggak?, mereka semua sama sekali tidak mempunyai anggota keluarga, bahkan diantara mereka ada yang tidak tahu siapa jati diri mereka sendiri. Meraka hanya bisa menunggu saat datangnya seseorang yang dengan baik hati mengangkat mereka sebagai anak!”, jawabnya, dan aku hanya terdiam.
“ Tapi lihatlah wajah mereka. Mereka begitu bersemangat dan ceria!……tidak berputus asa!. Mereka tidak ingin kehidupannya sia-sia. Buktinya mereka bebas tertawa-tawa….bahagia….., dan sama sekali tak tampak dari wajah mereka kesedihan yang mendalam”, jelasnya lagi.
“ Tapi………” aku berusaha untuk menyela.
“ Mel…, arti hidup yang sebenarnya adalah berusaha untuk mencapai puncak keberhasilan dalam kehidupan ini. Walau kita tahu, keberhasilan itu tak akan berlangsung lama. Namun kita harus yakin, bahwa suatu saat nanti kehidupan ini harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Tuhan sudah merencanakan semuanya. Ketahuilah……Tuhan itu Maha Adil, Mel. Tuhan Maha Menolong dan Menyayangi umatnya”, Reza menatap mataku dengan penuh keyakinan.
“ Mengapa kita harus bersih?, agar jasmani kita bersih dan sehat. Mengapa kita harus bersosialisasi?, karena manusia tidak akan mungkin bisa hidup sendiri. Mengapa kita harus makan?, agar kita tidak sakit dan fisik kita kuat. Mengapa setiap manusia harus mati?, karena kalau tidak, dunia ini tidak akan seimbang. Agar keseimbangan itu dapat terjadi, maka Tuhan menciptakan kehidupan dan kematian”.
“ Semua kehidupan itu pasti ada maknanya, dan tujuannya masing-masing. Dan kita harus berusaha agar keberhasilan itu kita raih untuk bekal diakhirat nantinya. Bagaimana mungkin kita bisa berhasil tanpa berusaha sama sekali ?. Bagaimana mungkin kita bisa bahagia, jika hati kita tak dapat berpandang lurus kedepan. Ketahuilah Mel, dunia ini begitu luas…..jangan hanya melihat di satu titik saja. Rugi…..kita harus menggunakan waktu sebaik-baiknya agar mencapai kesuksesan dunia akhirat. Gue yakin lo pasti bisa Mel! Cuma gue lihat, lo belum ada kemauan untuk berusaha”.
Aku hanya bisa terdiam selama Reza berbicara. Entah mengapa, aku merasa ada sesuatu yang hangat di dalam hatiku. Apakah selama ini aku salah menilai kehidupan?. Apakah aku ini memang sudah terjerumus ke dalam lubang yang sangat dalam?.
“ Masih ada satu lagi Mel ”, kata Reza lagi. Aku langsung menoleh kearahnya.
“ Lo bilang lo merasa hampa tanpa ada orang yang menyayangi lo kan?”, tanyanya, dan hanya kujawab dengan anggukan kepala.
“ Apa lo sebegitu nggak nyadarnya kalau sebetulnya ada seseorang yang begitu menyayangi lo?”, katanya membuatku mengerutkan alis.
“ Siapa?”, tanyaku pada akhirnya. Reza langsung mengacungkan telunjuknya ke arahnya sendiri. Aku langsung terbengong dibuatnya.
“ Apaan tuh?!!”, aku langsung tertawa terbahak – bahak.
“ Iiihhh…, kok malah ketawa sih??”, rengek Reza yang dibuat-buat.
“ Tapi Rez……………apa mungkin gue masih bisa memperbaiki semuanya?”, tanyaku ragu – ragu.
“ Tentu saja donk Mel!. Apa sih yang tidak mungkin di dunia ini?. Asalkan ada kemauan dan usaha, pasti semuanya bisa dilakukan!”, kata Reza dengan bijak.
“ Thanks ya Rez, lo emang temen gue yang paling baik”, aku mengedipkan sebelah mataku.
“ Oya…..Mel lo tau nggak?”, Reza langsung memandangku dengan pandangan serius.
“ Apa?”, akupun jadi ikut-ikutan serius.
“ Tadi pas lo curhat. Itu kalimat terpanjang lo yang pernah gue denger seumur hidup gue”, katanya jujur, aku langsung tertawa dan menjitak kepalanya.
“ Dan asal lo tau Rez……, baru kali ini gue denger seorang Reza bisa bicara sebijak tadi. Nyontek dari mana tuh??”, candaku.
“ Waduh??”, Reza hanya tertawa saja mendengarnya.
Apakah mungkin aku akan mendapatkan perubahan besar dalam hidupku kedepannya nanti?.
* * * *
Matahari adalah sumber kehidupan di dunia ini. Tanpa matahari…..dunia bukanlah dunia yang sebenarnya. Dengan matahari…..dunia terasa lebih indah dan berwarna. Tetapi matahari dalam diri setiap manusia, tak akan datang dengan sendirinya. Harus ada kemauan dalam diri sendiri. Pandang lurus kedepan, seperti sorotan sinar matahari. Maka, matahari yang tersembunyipun akan tibul dalam jiwa kita. Jangan menyerah dan jangan putus asa !. Raihlah jati diri dan arti kehidupan yang sebenarnya dari dalam dirimu. Karena suatu saat nanti, itu pasti akan dipertanggung jawabkan.
“ Amel… kok bengong?”, tanya seorang gadis berkuncir dua yang sedang memegang sapu, karena sedang tugas piket.
“ Ah nggak, hari ini mesti piket ya Lin?”, tanyaku sambil tersenyum.
“ Iya nih, mana kelasnya kotor banget lagi!”, keluhnya.
“ Hahahaa… yang sabar ya… apa mau gue bantuin?”, tanyaku menawarkan jasa.
“ Kayaknya nggak usah deh, tuh pangeran lo udah nungguin di depan pintu” katanya membuatku langsung menoleh ke arah pintu kelas. Terlihat seorang cowok sedang bersandar di pintu sambil tersenyum manis. Aku langsung tersenyum, kemudian merangkul ranselku sambil bangkit.
“ Duluan yah Lin…”, pamitku sambil menepuk pundaknya.
“ Maaf nggak bisa bantu”, lanjutku.
“ Iya, nggak apa-apa kok. Sudah sana, yayangmu sudah nungguin tuh!”, godanya, aku hanya tertawa pelan sambil berjalan ke arah Reza.
Reza langsung merangkulku, lalu mengacak-acak rambutku sambil berjalan ke luar ke arah gerbang sekolah.
“ Gimana hari ini? menyenangkan?”, tanyanya.
“ Yup!”, aku langsung mengangguk senang.
“ Kalau begitu, aku sekarang boleh main ke rumah kamu ya?”, pintanya.
“ Boleh saja, tapi sekalian bantuin beres-beres rumah yah?”, kataku sambil terkekeh pelan.
“ Iya deeehh…dasar yayangku inii”, sekali lagi Reza mengacak-acak rambutku, dan kami langsung tertawa cengengesan.
Kini aku merasakan matahari bersinar terang di hatiku. Aku dapat merasakan suatu kebahagiaan yang tak dapat kuungkapkan dengan kata-kata.
Guys, jangan pernah menyerah dan putus asa ya?. Berusahalah terus untuk mendapatkan MATAHARIMU sendiri !!.
- The end -
Amel said, " where my sun ? , help me God ! "
This blog contains about my story, my work and all of my work, my complaints, and My World. So, Welcome to My Little World, NYU ~ ~ x3
'bout me :3
Nyu :3
"fiechan", so my friends call fie. Fie was female, age 16 y.o this October 17y.o, 2nd senior high school class, I like writing , drawing, and singing. Fie always think everyone is fie's friend. either is from Real or virtual ... oo this is a special blog about my works/story or my thoughts... hope you colud feel comfortable : D
En don't forget to leave commont, eh xD comment i mean
arigato Minna ~ (/^0^)/
Ai Lope Yuu :*
"fiechan", so my friends call fie. Fie was female, age 16 y.o this October 17y.o, 2nd senior high school class, I like writing , drawing, and singing. Fie always think everyone is fie's friend. either is from Real or virtual ... oo this is a special blog about my works/story or my thoughts... hope you colud feel comfortable : D
En don't forget to leave commont, eh xD comment i mean
arigato Minna ~ (/^0^)/
Ai Lope Yuu :*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar