How Much People Look my Blog :-3

'bout me :3

Nyu :3

"fiechan", so my friends call fie. Fie was female, age 16 y.o this October 17y.o, 2nd senior high school class, I like writing , drawing, and singing. Fie always think everyone is fie's friend. either is from Real or virtual ... oo this is a special blog about my works/story or my thoughts... hope you colud feel comfortable : D
En don't forget to leave commont, eh xD comment i mean

arigato Minna ~ (/^0^)/
Ai Lope Yuu :*

Sabtu, 16 April 2011

Bloods behind ‘Gomaisme’ ( Part IV )



‘ A… apa yang sebenarnya terjadi ?. Hyuga kenal dan anak ini !?, Siapa anak ini sebenarnya!?’
“onii-san…?”, muka anak itu menegang, dan kemudian menyembunyikan taring serta kukunya yang tajam.
‘ Apa !? onii-san ?!’, Hosina langsung menatap anak kecil itu dengan pandangan terkaget-kaget. Benar, semakin diperhatikan, muka anak itu semakin terlihat manis dan mirip sekali dengan Hyuga, terlebih matanya.
  ‘Tapi, apakah anak ini benar-benar adik Hyuga?’, pikirnya.
    Hyuga berjalan perlahan mendekati mereka, bersamaan Chisako yang dengan sangat cepat bergerak menjauhi Hosina dalam waktu kurang dari 1 detik.
“ Chisako, sudah berapakali kubilang jangan pernah mengganggunya!”, bentak Hyuga dengan nada yang terdengar sangat marah. Hosina membulatkan matanya ketika melihat kuku-kuku jari tangan Hyuga memanjang dan meruncing hingga mencapai 15 centi, kemudian tanpa rasa kasihan sedikitpun kuku-kuku itu telah sukses membuat wajah manis Chisako membekas sebuah luka gores cakaran, dengan darah yang keluar diantara sayatan-sayatan tersebut.
      Hosina memekik pelan, ‘apa mereka sudah gila!’, pikirnya.
“ Hyuga ! Apa yang kau lakukan !? Dia adikmu ! ”, teriak Hosina.
          Chisako terlihat menoleh pada Hosina, jari-jari tangan kanannya mengusap darah segar yang keluar dari pipinya, lalu menjilat darah yang menempel dijarinya itu. Suara decapannya sampai terdengar oleh telinga Hosina, yang tentu saja membuat jantungnya semakin berdegup kencang.
“ Aku tak percaya…”, Chisako menjilat jarinya sekali lagi.
“ ternyata orang ini bisa juga membelaku…”, lanjutnya sambil menatap tajam mata Hosina. Bola matanya yang berwarna merah terang membuat Hosina bergidik, lalu sebuah senyum yang sebenarnya tak dapat dibilang senyuman terpampang diwajahnya.
“ sayang sekali, padahal sedikit lagi aku bisa mencicipi darah segarnya itu”, paparnya.
   Tubuh Hosina sedikit bergetar,
“ Chisako ! Cukup ! ”, suara Hyuga yang lantang terasa mendengung-dengung ruangan yang luas itu.
“ Jangan buat aku harus melakukannya lagi ! ”, lanjutnya. Alis mata Hyuga terlihat mengerut, matanya menyipit, dan Hosina dapat melihat kuku-kuku jarinya sudah mulai ingin melancip, namun seakan ditahan oleh batin Hyuga.
       Chisako menatap kakaknya sepersekian detik, lalu meregangkan badannya sambil menghela nafas panjang, “Aaaahhh….”, desahnya.
“ kalau saja bukan Onii-san yang memintanya takkan mungkin Chisako akan melewatkan kesempatan ini ”, Chisako melirik Hosina lagi, ia membulatkan mulutnya seakan ingin mengatakan sesuatu. Namun nada suara yang keluar terdengar lebih pelan dan sangat dalam, “ maksudku, darah segar ini….. ”.
“ Chisako ! ”, Hyuga membentaknya sekali lagi, seakan mengingatkan.
“ iya. Iya. Onii-san… Chisako mengerti… Chisako akan keluar…”, Chisako memajukan bibirnya, cemberut.
“ Padahal Chisako sudah baik-baiknya membiarkan orang ini tidur diatas kasur kesayangan Chisako”, lanjutnya dengan suara sedikit menyindir. Lalu mengambil Boneka Kucing Hitam yang tadi ia pegang dan melangkah keluar ruangan.
         Mata Hosina dan Hyuga mengikuti langkah kepergiannya, lalu saat sosok mungil itu tak terlihat lagi, ruangan itu menjadi hening.
“ aku tak mengerti”, akhirnya Hosina membuka omongan.
“ benar-benar tak mengerti”, lanjutnya lagi dengan mata yang menatap kosong kearah pintu yang terbuka lebar.
“ dan kau tidak perlu untuk mengerti, Hosina ”, potong Hyuga dengan suara yang terdengar begitu berat.
“ aku benar-benar tak mengerti…”, Hosina menggigit bibirnya seraya menahan kantung air matanya yang sudah mulai memberontak ingin keluar, dan dengan mata yang tetap menatap kosong kearah pintu.
“ kejadian ini begitu cepat, aku bahkan belum sempat menerkanya satu persatu”, lanjutnya lagi, “dan menerimanya segalanya” kata terakhir itu membuat sebutir air mata Hosina menetes. Sebutir menjadi dua butir, dua menjadi tiga, dan terus bertambah sehingga tidak bisa dibilang sebagai butiran lagi. Ia menangis.
   Hyuga berjalan mendekati Hosina.
“  gadis kecil itu ingin membunuhku…”,  Hosina berbicara lagi, seakan tak membiarkan Hyuga berbicara ataupun membalas ucapannya.
“ dan kau melukai wajahnya hingga berdarah ”,  Hosina menatap mata Hyuga dengan serius “ terlihat begitu gampang, membuatku berpikir kau bisa dengan gampangnya melakukan itu juga padaku”, lanjutnya. “Serius”.
“ Kenapa kau tak lakukan itu sekarang padaku ? ”, seutai senyum yang menyakitkan terlihat diwajah Hosina, mengiringi air matanya yang mengalir.
“ Bunuhlah aku sekarang, jadikan aku makananmu… aku siap… Lagi pula untuk apalagi aku hidup? Toh, sudah tidak ada lagi yang aku punya… Keluarga… dan mereka juga sedang berusaha membunuhku kan?”, katanya lirih sambil terkekeh menyakitkan.
“ Kenapa kau diam ? Hei Cepat! Selagi aku bersedia… Hyuga Cepat… Tidak usah munafik, kau sebenarnya senang bukan ? Hyuga !”, suara Hosina meninggi, wajah tersenyumnya berubah menjadi tatapan putus asa.
“ Cepat Bunuh Aku Sekarang !!!! ”
     -Plaak!-
  Sebuah tamparan cukup keras membuat pipi Hosina terasa panas. Dengan mata membelalak kaget, Hosina memegangi pipinya. Hyuga menamparnya.
“ Hosina, kau sedang terguncang”, akhirnya Hyuga berbicara.
“ aku yakin, kau tak akan semudah itu menyerah ”, Hyuga menarik nafas panjang.
“ Aku mengerti bagaimana perasaanmu… Aku paham itu semua… Tapi jika kau menyerah secepat itu, berarti tidak ada artinya Ayahmu meninggal. Jika pada akhirnya kau juga akan meninggal ”, lanjutnya.
     Hosina menutupi wajahnya dengan tangan, pundaknya terlihat bergoyang keatas dan kebawah. Namun tak terdengar sedikitpun suara isakkanya.
“ Kenapa kau melindungiku ? ”, tanya hosina dengan wajah yang masih terbenam tangan.
“ yah…”, Hyuga menatap telapak tangannya, matanya terlihat sedikit sayu, dan tajam.
“ karena aku telah ‘berjanji’ ”, lanjutnya. Namun perkataan itu sama sekali tak bisa menjawab pertanyaan Hosina. Hosina mengangkat kepalanya, matanya terlihat sembab. Iapun mengerutkan alisnya. “ berjanji ? ”, tanyanya.
“ Ya… Sebuah janji lama…”, jawab Hyuga sambil menatap telapak tangannya dan tersenyum tipis. Sekali lagi ditekankan, Tersenyum Tipis!, Hyuga TersenyuM !!.
“ Lalu…”, hosina menatap jari-jari kakinya.
“ apa yang harus aku lakukan ?”, tanyanya.

^w^   ^w^   ^w^

            Hosina melangkah dengan takut kedalam gerbang sekolahnya. Sekali lagi ia menoleh sebuah pohon Sakura tak jauh disebelah kanan dibelakangnya.
“ Hyuga, aku benar-benar takut”, bisiknya pelan pada seorang cowok berbaju seragam yang sedang berjongkok disalah satu batang pohon sakura yang lebar. Rambut serta dasi seragam lelaki itu bergoyang-goyang tertiup angin. Bola matanya yang tajam dan berwarna semerah darah menatap Hosina. Ia menggerakan bibirnya pelan, “sudah, lakukan saja. Aku menjagamu dari belakang”.
     Hosina menelan ludahnya sekali lagi, ia mengangguk lalu berbalik , melanjutkan langkahnya. Tangan kanannya meraba bagian bekakang pinggulnya yang tertutupi jaket berwarna biru kelam. Jaket yang Hyuga berikan padanya. Jari-jarinya mendapati sesuatu yang padat dibelakang punggungnya, tangan Hosinapun segera mencengkramnya. Sebuah pistol Hunter. Entah dari mana Hyuga memperolehnya. Pistol ini mirip sekali dengan pistol-pistol yang sama pada salah satu anime kesukaanya, Vampire Knight. Tapi ia segera menepis semua itu, jelas ini berbeda. Yang dihadapinya sekarang ini nyata dan bukan hanya sekedar kartun anime belaka. Dan yang mereka hadapi Bukan Vampire melainkan Go… Go… Entah apalah Hyuga menyebutnya dulu.
   Deru nafas Hosina semakin tak menentu saat ia berjalan masuk ke lorong sekolah, tangannya yang semakin erat memegang Pistol Hunternya mulai berkeringat. Beruntung saat itu angin bertiup lembut membuat rambut panjangnya sedikit berkibar. Yang harus ia lakukan saat ini adalah menuju Ruang Kepala Sekolah yang berada tepat beberapa belas meter disamping kelas menakutkan itu. Dan meminta untuk mengganti ruangan kelasnya. Sebenarnya hanya itu, namun resikonya lebih besar dari yang terlihat. Siapa yang tahu jika akan ada Gomaisme yang melompat padanya, dan membuat nyawanya meghilang dalam waktu seketika. Atau taring-taring mereka yang merobek bagian sekitar lehernya dan menghabiskan semua darah yang ada didalam tubuhnya. Tangan kiri Hosina mengusap lehernya pelan, ‘tidak, itu semua tidak akan terjadi’, pikirnya.
“ Hosina chan ? ”, suara yang terdengar halus dari belakangnya membuat jantung hosina serasa ingin meloncat keluar. Ia pasti akan segera mengeluarkan Pistol Hunternya dan menembak siapapun yang ada dibelakangnya jika ia tidak segera menahan keinginannya itu.
“ Se… Senpai…”, suara Hosina sedikit bergetar saat melihat Tanaka dibelakangnya, sedang menatapnya sambil tersenyum manis.
“ lama tidak bertemu, kemarin sore saya tidak melihatmu. Apa kamu tidak masuk sekolah?”, tanyanya lembut sambil tetap menyunggingkan senyum.
“ ah tidak… ah iya… ah bukan-bukan seperti itu maksud saya…”, Hosina memutar bola matanya sekali seakan berfikir.
“ ah… kemarin saya merasa tidak enak badan dan saya diizinkan pulang”, katanya berbohong. Kebohongannya itu terlihat jelas dari dahinya yang berkeringat, Hosina menghapus keringat itu dengan lengannya.
“ Oh, bagaimana kondisimu sekarang?”, tanya Tanaka sambil memiringkan kepalanya.
“ ah… sudah lumayan baikkan…”, Hosina berusaha tertawa, walaupun tawanya itu malah terdengar seperti rintihan.
“ baiklah, ayo saya antar kekelasmu… Kamu terlihat tidak begitu sehat ”, tawaran Tanaka itu tidak membuat Hosina merasa tersanjung sama sekali. Jantung Hosina berdegup semakin kencang, sekali lagi ia memutar bola matanya.
“ Agh… Tidak usah Tanaka-san… Saya masih bisa sendiri kok. Tidak usah repot-repot mengantarkan begini… Haha…”, suara Hosina terdengar begitu terpaksa, terlebih tawanya. Beberapa kali ia menggerakan tangannya sambil menggelengkan kepala sebagai bentuk penolakan keras, tapi sepertinya Tanaka sama sekali tidak menyadari semua itu.
“ Sudahlah Hosina chan, tidak usah sungkan begitu. Sama sekali tidak merepotkan kok, ayo!”, sambil tersenyum Tanaka menarik tangan Hosina, menuntun badan Hosina yang terlihat terhuyung. Padahal sebenarnya badannya bukan sedang terhuyung tapi merasa ingin mengambil ancang-ancang untuk berlari pergi.
“ Ah… Tidak usah Tanaka san… saya…”, sebuah kerutan muncul diantara kedua alisnya. Kepalanya menoleh kesegala arah mencari seseorang, tapi tidak terlihat seorangpun disana. Ia hampir mengeluarkan kata-kata kasar pada Hyuga yang bilang padanya akan mengikutinya dari belakang. Tapi semua itu hilang pada saat Tanaka membimbingnya semakin dekat kearah ruangan kelas menakutkan itu. Mata Hosina mulai berlinang berusaha menahan segala ketakutan, ia menoleh sekali lagi kebelakang, ia menjerit dalam hati ‘Hyuga!, Tolong Aku!’.
      Seseorang meloncat entah dari mana, lalu berhasil mengambil alih tangan Hosina. Didekapnya tangan mungil itu dengan tangannya yang cukup besar. Hyuga menatap mata Tanaka tajam, terlihat baju seragam putihnya mulai berwarna kecoklatan karena kotoran dari dahan Pohon yang ia duduki tadi. Dasinya yang terlihat semakin kendor berkibar tertiup angin, hampir menampar wajahnya. Rambutnya terlihat berantakan, dan matanya masih sama seperti sebelum-sebelumnya, terlihat menakutkan.
“ dia sedang ada perlu denganku”, katanya tanpa nada sedikitpun, terdengar sangat datar.
“ Hyuga…”, Tanaka menutup mulutnya seakan mengagetkan sesuatu.
“ lima menit lagi bel berbunyi, tak akan kubiarkan kau kabur seperti dulu”, nada suara Tanaka terdengar sedikit tidak sopan. Berbeda sekali dengan pada saat ia berbicara dengan Hosina.
“ dan kalaupun itu terjadi, Hosina chan tidak akan terlibat bersamamu”, lanjutnya sambil menarik tangan kanan kiri Hosina, “tidak akan”.
“ kalaupun ayahku yang memintanya?”, mata Hyuga membulat sambil menekankan nadanya “atau ibuku mungkin?”, lanjutnya.
            Tanaka terlihat bingung saat itu, seakan sedang mengimbang-imbangi sesuatu. Ia menggaruk rambutnya yang tidak gatal,lalu kemudian menghela nafas panjang.
“ baiklah, kali ini kau menang”, katanya sambil melepaskan tangan Hosina.
“ tapi ingatlah Hosina chan, tidak baik berteman dengannya. Karena dia itu pernah…”, belum sempat Tanaka melanjutkan perkataannya Hyuga telah menarik Hosina pergi dari sana. Namun dengan arah yang berlawanan dari arah yang seharusnya mereka datangi, ia kembali lagi kelorong sebelumnya dan berbelok kearah laboratorium, dan berhenti tepat didepan pintu. Ternyata Hyuga sama sekali tak berniat untuk masuk kedalamnya.
“ kau kasar sekali padanya”, Hosina melepas pelan tangannya dari genggaman Hyuga, lalu mengusap-usap tangannya yang terasa dingin oleh suhu badan Hyuga.
“ dan terimakasih…”, lanjutnya tanpa mau menatap mata Hyuga.
         Hyuga menatap wajah Hosina yang tertunduk, lalu menarik tubuhnya dan memeluknya. Hosina hampir saja berteriak, dan matanya terbelalak. Namun pelukan itu hanya terjadi kurang dari 5 detik karena selanjutnya Hyuga melepasnya.
“ setidaknya bauku akan melindungimu selama aku pergi”, kata Hyuga tanpa merasa bersalah sedikitpun. Hyuga menatap Hosina yang masih menganga.
“ Hei ! ”, tegurnya membuat Hosina hampir meloncat.
“ Ah… Iya !? ”, Hosina terlihat kelabakan, namun selanjutnya ia terdiam seberntar dan berfikir. “ Tunggu dulu…”, ia mengerutkan alis.
bau? Pergi? Apa maksudmu ? ”, tanyanya.
“ Ya, pelukan itu membuat bauku sedikit menempel diseragammu. Aku akan pergi sebentar, kau tunggu di Lab. Jangan lakukan apapun ketika kau melihat salah satu dari mereka. Jangan membuat gerakan seakan kau punya Pistol itu pada mereka. Gunakan pistol itu jika kau benar-benar terdesak. Dan selama itu, bauku akan tercium dari seragammu. Mereka akan berfikir aku ada disekitarmu, dan mereka tidak akan berbuat macam-macam padamu ”, jelas Hyuga sambil melepaskan dasinya, lalu menyerahkannya pada Hosina, “ pegang ini, untuk penambah bau ”.
“ tunggu, kau mau kemana?. Jangan tinggalkan aku!”, suara Hosina hampir terdengar seperti merengek. Namun Hyuga tidak mendengarkannya,
“ tunggu disini, dan ingat perkataanku tadi”, katanya datar kemudian ia –entah dengan cara apa– sudah tidak terlihat dihadapan Hosina. Disana hanya terlihat Hosina sedang memegang erat dasi milik Hyuga. Dan pada saat itu bel masuk berbunyi, ia menghela nafas panjang. Pastinya murid kelasnya itu tidak akan keluar pada saat tengah pelajaran bukan?.
            Hosina menelan ludahnya sekali sebelum membuka pintu Laboratorium. Kehadirannya disambut oleh seorang guru perempuan berpakaian Jas Lab berwarna putih bersih. Kacamata bersender diantara kedua matanya yang sipit, rambutnya yang hitam diikat kencang kebelakang, sebuah senyum simpul terlihat dari bibirnya yang sedikit tebal.
“ ada yang bisa saya bantu?”, tanya sensei itu sopan.
“ ah tidak ada sensei”, Hosina menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
“ saya hanya disuruh menunggu disini, kemungkinan teman saya ada perlu disini dan meminta bantuan saya”, lanjutnya penuh kebohongan.
    Sensei itu menangguk,
“ apa kita pernah berkenalan sebelumnya?. Oh, kamu pasti siswi baru disini,benar?”, tanyanya lalu berjalan mendekati Hosina yang sedikit mundur menjauh.
 “ perkenalkan, saya Migami Sensei. Guru Penelitian Kimia, kebetulan saat ini sedang jadwal kosong. Lalu siapa namamu gadis kecil?”, sapanya ramah, membuat Hosina langsung percaya padanya seratus persen.
“ Hosina… Hosina Mikoto…”, Hosina membungkuk Hormat.
“ Hosina Mikoto, nama yang manis sekali”, puji Migami Sensei sambil tertawa pelan.
“ Ah… terimakasih sensei”, kata Hosina sambil tersipu malu, sensei ini benar-benar ramah. Semua ketakutan Hosina seakan lenyap ketika melihatnya.
“ Kelas berapa?”, tanya sensei itu lagi, membuat tubuh hosina sedikit berdesir.
“ ah… saya..”
       Pintu Laboratorium terbuka, denyitannya membuat jantung Hosina serasa ingin meloncat keluar dari dalam tubuhnya. Ia –terpatnya mereka– menoleh kearah pintu. Seorang wanita cantik  masuk keruangan Lab. Rambutnya yang sedikit ikal berwarna kemerahan dibiarkan jatuh menutupi pundaknya yang kecil. Bulu matanya lentik, bola matanya berwarna biru pekat. Hidungnya mancung, dan bibirnya begitu mungil dan tipis. Namun baju yang ia kenakan tidak sefeminim wajahnya. Sebuah seragam yang sama persis seperti yang Hosina kenakan terlihat begitu menekan tubuhnya yang ramping, hampir seluruh lekuk tubuhnya dapat terlihat mencuat seakan ingin keluar dari seragamnya. Paha yang terlihat putih dan mulus terlihat dari rok mini yang ia kenakan. Kancing pertama dan kedua seragamnya ia biarkan terbuka sehingga belahan dadanya terlihat, bersamaan dengan sebuah kalung berwarna perak yang menggelantung dilehernya. Kedua tangannya menggenggam erat sebuah map berwarna merah pucat. Gadis itu tersenyum simpul.
“ maaf mengganggu”, sapanya terdengar begitu ramah.
“ sensei…”, perempuan itu mendekati Migami sensei, lalu menyerahkan map merah yang sedari tadi ia pegang padanya.
“ apa ini ?”, Migami sensei mengernyitkan alis matanya.
“ Proposal penelitian, kemarin saya melakukan penelitian di salah satu Gedung Penelitian ternama ‘Oozi Tsuu’. Mungkin hasil ini akan membuat sensei sedikit tertarik”, katanya.
            Merasa kedua gadis ini tidak berbahaya, Hosina memutuskan untuk membiarkan mereka berbincang-bincang. Ia melangkah kesudut kanan ruangan, disana terlihat sebuah tabung berukuran besar yang didalamnya jelas terlihat seekor bayi paus tengah diawetkan. Kulit paus tersebut sama sekali bersih tak terkelupas. Bahkan Hosina sempat berfikir paus itu masih hidup, namun ia segera terkekeh pelan menyadari pikiran bodohnya itu. Hosina bersender pada salah satu sudut meja wastafel dibelakangnya, matanya menoleh keluar ruangan dari jendela yang terlihat gelap dari luar, dilipat kedua tangannya menutupi pusar sambil sesekali ia menghela nafas.
   ‘Hyuga, cepatlah kembali’, pikirnya pelan.
       Hosina menghela nafas sekali lagi, lalu pandangannya beralih pada dua wanita cantik didepan ruangan. Mereka tengah sibuk membicarakan hal yang sama sekali tidak Hosina ketahui. Mata Hosina memandang gadis cantik yang sedang berdiri membelakanginya, badanya yang bergerak membuat rambut panjangnya sedikit terkibar. Rambut merah itu sangat jarang ia lihat, khususnya orang jepang. Setahu dia, orang yang memiliki rambut berwarna kemerahan biasanya daerah dingin seperti Amerika, Spanyol, dan daerah sekitarnya. Kecuali, jika wanita itu mengecat rambutnya sedemikian rupa. Pikiran itu langsung ditepis Hosina, ‘tidak mungkin’, pikirnya. Ya, tentu saja tidak mungkin. Karena disekolah ini dilarang keras mengecat rambut, setahu dia.
            Hosina kembali bergumam pelan, lalu membuang pandangannya kejendela lagi. Tidak ada siapapun disana.
   ‘Sial, ternyata ‘sebentar’ bagi Hyuga begitu ‘ Lama’ menurutku’, umpatnya dalam hati.
       Matanya menari-nari menjelajahi ruangan yang cukup luas itu. Bau-bau menyengat tercium dari mana-mana. Namun tidak terlalu menyengat seperti sekolah regular biasanya , sekolah khusus ini memiliki fasilitas 2 AC pada tiap-tiap ruangannya. Sekarang ia mengerti mengapa biaya administrasi sekolah ini begitu mahal.
                         Hosina membelalakan matanya pelan, ia ingat tentang ayahnya  –almarhum ayahnya  lebih tepatnya– masih tergeletak dirumahnya. Membujur dengan kaku. Hosina menggigit bibirnya sekeras mungkin berusaha menahan tangis, lalu mengerjap-kejapkan matanya. Pandangannya terhenti pada sesuatu yang tak sengaja terlihat mengkilat pada sebuah meja yang putih bersih. Hosina mendekat, ternyata itu sebuah tetesan berwarna merah, mungkin salah satu larutan disini. Dan benar saja, dihadapannya terlihat beberapa tabung kimia dengan cairan-cairan berwarna merah pekat. Hosina menghela nafas lega, lalu jarinya perlahan mencolek cairan itu, membiarkannya tergenang di ujung telapak jari telunjuk Hosina yang putih, lalu entah apa yang mendorongnya melakukan ini, Hosina mengendusnya.
       Sesuatu membuat badannya terasa tersetrum. Bau yang ternyata sangat menyengat, dan asalnya dari tetesan air ditangannya ini. Hosina sempat khawatir kalau kalau ternyata air ini adalah salah satu air keras, namun itu tidak menjadi pikirannya lagi melihat tidak terjadi apapun pada jarinya. Diendusnya sekali lagi tetesan itu, badan Hosina kembali mendesir. Ia tidak mau terlalu cepat mengambil kesimpulan seperti apa yang ada diotaknya. Diambilnya sehelai tissue yang ada tak jauh dari tempatnya berdiri. Dibersihkannya tangannya dari tetesan menyengat itu, lalu tisu itu ia buang ketempat sampah yang persis berada dibawah meja wastafel. Dengan sangat hari-hati Hosina kembali ketempat ia menemukan tetesan merah itu, diraihnya salah satu tabung berwarna merah terang yang berjajar dihadapannya. Perlahan tapi pasti dibukanya sekat yang menutupinya. Dengan tangan sedikit bergetar dan jantung yang berdegup seolah waspada Hosina mendekatkan hidungnya pada permukaan tabung dan diendusnya perlahan. Sedetik kemudian bau yang sangat menyengat serasa menusuk indra penciumannya, Hosina segera menutup dan menaruh kembali tabung itu ketempatnya dengan cepat. Hanya satu kata yang ada didalam otaknya yang sama persis dengan apa yang ia pikirkan tadi, darah. Cairan merah kental itu adalah darah.
    ‘Oh tidak ini benar-benar mengerikan, aku harus cepat pergi dari sini!’, jeritnya dalam hati kemudian berbalik, dan ia hampir menjerit lagi ketika mendapati seorang gadis cantik berpakaian seksi berada persis dihadapannya. Sebuah senyum lebar dan terlihat begitu manis muncul dari bibirnya yang mungil.
“ ada apa?”, tanyanya ramah, tidak ada satupun nada yang terdengar mencurigakan keluar dari perkataanya.
    Hosina menggeleng,
“ ah… tidak kok, tidak ada apa-apa”, jawabnya sambil tetap menggeleng, mengusir ketakutan yang menjalar disekujur tubuhnya. Ia melirik kearah meja Mizuki sensei, dan ternyata  guru itu sudah tidak ada lagi disana. Hosina menelan ludahnya.
“ ah… larutan ini…”, gadis cantik itu menuju larutan merah yang tadi juga diambil Hosina, membuka tutupnya, mengendusnya, lalu seketika menjauhkan tabung itu dari wajahnya, sama persis seperti yang tadi Hosina lakukan. “sangat menyengat ya?”, lanjutnya sambil menatap Hosina, alis matanya sedikit mengerut.
“ ya, sangat… tidakah kamu berpikir baunya seperti… ah… mungkin hanya perasaanku saja… tapi baunya benar-benar tercium seperti…”,
darah ?”, potong gadis itu dengan begitu tepat. Hosinapun mengangguk dan gadis itu tertawa renyah, suaranya yang halus sampai menggema diseluruh ruangan.
    Hosina menundukan wajahnya, ia pasti benar-benar dianggap bodoh kali ini. Gadis ini pasti mulai menganggapnya terlalu banyak nonton film horror atau semacamnya.
“ terlebih dari pada itu”, gadis itu mengelap bibirnya dengan lengan setelah puas tertawa. Lalu ia menjilat bibirnya sendiri, mengendus aroma menyengat darah itu sekali lagi. Dan detik selanjutnya mata hosina melebar dan bola matanya membulat ketika menyaksikan gadis cantik itu menaruh permukaan tabung kebibirnya, lalu menuangkan isinya yang perlahan berpindah kedalam lambungnya. Suara tegluk demi teglukkan bahkan sampai terdengar oleh Hosina diruangan yang sunyi itu. Buluk kuduknya bediri, ketakutan menjalar dirinya. Gadis itu menelan semua cairan kental berwarna merah di tabung itu hingga habis. Setelah tabung itu terasa ringan dan kosong, gadis itu menjauhkannya dari mulut. Sekali lagi dijilatnya bibirnya yang terlihat sangat merah karena cairan tadi.
“ cairan ini benar-benar enak, seperti katamu. Darah ini benar-benar nikmat sampai kekerongkongan”, katanya sambil menatap tajam pada Hosina. Mulutnya tertarik kekanan, namun senyum yang terlihat tidak seperti sebelumnya, terlihat begitu menakutkan.
            Dengan tubuh bergetar Hosina segera berbalik dan berlari menuju pintu. Dan baru saja ia ingin memegang gagang pintu itu, sebuah tubuh tiba-tiba muncul menutupinya. Gadis itu sudah berdiri didepan pintu masuk sekaligus keluar menuju Laboratorium ini, dan menghalanginya. Hosina mundur beberapa langkah hingga tersandar pada tembok yang dilapisi Ubin berwarna putih, badannya semakin bergetar hebat. Terlebih saat gadis itu tersenyum lebar, memperlihatkan gigi-giginya yang tertata rapih dan putih. Kemudian dua buah giginya bergetar pelan seakan oleng dan ingin terjatuh. Namun bukan itu yang terjadi, karena selanjutnya kedua gigi itu memanjang dan telah berubah ukuran lebih besar dan tajam dari giginya yang lain. Dua bongkah taring yang terlihat sangat menyeramkan menonjol dari dalam mulut mungilnya, ia menjilat tangan kirinya sekali sebelum tersenyum lebar pada Hosina dan berkata dengan suaranya yang terdengar halus dan begitu serak,
     “ Hello Hosina chan ♥…”.
====================== To be Continue ====================
                                   The Mysterious Girl said, “ Hello Hosina chan ♥…”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Fie Chan Here~

Fie Chan Here~
Fie always here (reading a manga), please contact me whenever wou want. keyy ? :D