How Much People Look my Blog :-3

'bout me :3

Nyu :3

"fiechan", so my friends call fie. Fie was female, age 16 y.o this October 17y.o, 2nd senior high school class, I like writing , drawing, and singing. Fie always think everyone is fie's friend. either is from Real or virtual ... oo this is a special blog about my works/story or my thoughts... hope you colud feel comfortable : D
En don't forget to leave commont, eh xD comment i mean

arigato Minna ~ (/^0^)/
Ai Lope Yuu :*

Kamis, 11 Agustus 2011

Agent Academy (part II)

Kadangkala aku berpikir bagaimana mungkin aku bisa – bisanya tak curiga dengan objek yang ada dalam pandangan naluriku tadi. Yang dimana ciri dari Musuh sudah terlihat jelas. Maksudku, mana ada orang yang memakai topi dimalam larut yang bahkan tidak ada cahaya matahari sama sekali. Atau kaca mata hitam dilangit super gelap, pada jam setengah sepuluh malam tepatnya. Dan kala itu aku merasakan betapa bodohnya aku saat itu, dilihat dari manapun itu pasti adalah  pengedarnya.
“ dimana objek sekarang ?”, tanpa kusadari Ron berlari sejajar disampingku.
“ 20 meter dari belokan gedung bercat hijau itu”, kataku cepat sambil melihat jam.
“ oh tidak ! ”, seruku.
“ objek mulai bergerak cepat, sepertinya ia telah naik kesebuah kendaraan. Dan kupikir itu adalah mobil ”, kataku sedikit panik sambil memberi aba – aba untuk bergerak lebih cepat.
            Sial, secepat – cepatnya kami berlari tidak akan mungkin bisa mengejar kecepatan mobil yang sedang mengebut. Titik kuning itu semakin menjauh dan menjauh. Membuatku menggigit bibirku, apa yang harus kulakukan selanjutnya. Rasanya aku hampir putus asa kalau saja suara Mr. Robbert terdengar ditelingaku, tepatnya dari mini phone ditelingaku.
“ Cellonia , pakai mobil yang ada dua meter didepanmu sekarang. Ikuti musuhmu”, katanya. Dan aku langsung bergegas menuju mobil yang dimaksud, tak peduli itu milik siapa.
“ biar aku saja ”, Ron mendahuluiku lalu sepersekian detik kemudian ia sudah berada didalam mobil.
     Aku mendengus pelan, lalu masuk kebangku depan diikutin Annie dan yang lainnya dibangku belakang.
“ Ron, bagaimana kita bisa…”, rasanya pertanyaanku itu tak usah dilanjutkan lagi saat melihat Ron mengeluarkan laser kecil, lalu mengarahkan cahaya merahnya kelobang kunci dan sedetik kemudian mobil sudah menyala. Well, kupikir dia cukup hebat.
“ Posisi, dimana posisinya ? ”, Ron memajukan mobilnya dengan kecepatan penuh.
“ 400 meter didepan. Kupikir kita harus cepat karena kecepatan mobil itu mencapai 90km/jam ”, jelasku lalu menatap keluar jendela. Tiba-tiba aku mengucapkan sesuatu yang bahkan tidak terpikirkan untuk diucapkan.
“ hari ini tidak melenceng… ”, gumamku kecewa. Dan aku langsung melotot kaget saat menyadarinya. Aku dapat merasakan semuanya menatapku, kecuali Ron. Tapi aku yakin dia mendengarku.
what ? ”, Tanya Stevanie. Aku yakin dia sebenarnya sudah mengerti apa yang kupikirkan, tapi yang dia tanyakan sebenarnya adalah ‘Mengapa bisa-bisanya aku berpikiran seperti itu dalam kondisi seperti ini’ dan bukan ‘Apa yang kau ucapkan barusan’.
       Aku tertawa kecil sambil memejamkan mata, aku sendiri bingung kenapa aku sempat-sempatnya tertawa. Dalam pejaman mataku itu, tepatnya sebelum aku membuka kedua mataku. Selintas terlihat gambar seorang wanita tua berpakaian warna merah pekat sedang membawa sebuah tas hitam kecil, dia sedang menggenggam sebuah tali yang merupakan tali anjing yang sedang ia bawa disisinya. Anjing berwarna putih berbulu lebat. Aku membuka mataku,
“ ada apa Cell ? ”, Annie sepertinya sudah hafal dengan jenis pelotottan mataku. Maksudku, kau tahu, jika menyadari sesuatu aku akan melotot sekilas, namun pelototan itu merupakan pelototan kaget dan bukan pelototan marah.
            Tetapi aku mengabaikan pertanyaannya dan langsung memencet tombol pengaktif suara dibagian kanan jam.
“ lacak seorang nenek tua berbaju merah dan sedang menjijing anjing berwarna putih disekitar sini ”, kataku pada jam ditanganku. Setelah proses loading yang memakan waktu sekitar 60 detik, sebuah titik baru berwarna orange muncul dari arah berlawanan dari titik berwarna kuning. Aku mendesis, jauh sekali. Sekitar 600 meter diarah Barat Daya.
“ Annie ! ”, seruku sambil menoleh kepada Annie.
Yes ? ”, Annie terhenyak kaget.
“ ikut aku, kita akan kearah Barat Daya. Objek kedua sudah terlihat ! ”, kataku sambil membenarkan posisi mini phone ditelingaku.
“ All Right ”, Annie memakai ranselnya kuat-kuat.
“ Yang lainnya disini, ikuti objek pertama ! ”, perintahku lalu membuka jam ditanganku dan menyerahkannya pada Steven.
“ Pakai ini ”, kataku.
“ bagaimana dengan kamu ? ”, Tanya steven.
“ Instingku lebih tajam dibandingkan jam itu ”, aku menarik sudut sebelah kanan bibirku keatas lalu mulai membuka pintu, namun sebuah tangan menarik lenganku.
“ Aku Ikut ! ”, kata Ron tiba-tiba.
What ?, no no! you stay here with us ! ”, seruku tapi Ron tetap mencengkram lenganku.
“ Feelingku bilang aku harus ikut dengan kau, Mrs. Cellonia ”, Ron menaikan sudut bibirnya mengikutiku.
 Aku mendengus lagi,
Well, terserah kau ”, Ron lalu melepaskan tanganku dan turun bersamaan dengan aku dan Annie. Dan Steven segera mengambil posisinya pada setir kemudi.
becareful honey ”, pesanku pada Stevanie sebelum aku membalikkan posisi badanku kearah Barat Daya.
Follow me ”, kataku sambil melangkah cepat, diikuti yang lainnya. Baru beberapa puluh meter jaraknya dari posisi awal, mini phone-ku menyala.
Mrs. Cellonia, apa yang kau lakukan ?, arahmu berlawanan dari arah objek tujuanmu ! ”, seru Mr. Robbert dari balik sana.
 mengikuti objek kedua sir ! ”, jawabku lantang sambil tetap berlari.
Apa maksudmu ?, tidak ada objek kedua pada latihan kali ini, satu regu hanya satu objek !. dan tidak ada objek satupun diarah tujuanmu itu ! ”, seru Mr. Robbert lagi, kali ini suaranya lebih lantang.
“ Cell ”, sebuah tangan menarik lenganku hingga aku hampir terguling kebelakang. Untung saja tangan itu dengan cepat berpindah posisi untuk menahan badanku yang oleng. Tangan itu milik Ron.
“ Kau ! ”, hampir saja aku membentaknya kalau saja aku tidak cepat menyadari bahwa saluran telekomunikasiku masih terhubung.
“ kupikir kita harus kembali, akan kuhubungi Steven, kita bisa memakai kendaraan lain untuk menyusulnya”, katanya membuatku mencibir.
“ tapi ”
“ Cell-ku sayang ”, Annie menepuk pundakku pelan.
“ Kali ini harus kukatakan kita harus kembali. Kau tahu, Mr. Robbert tak pernah salah”, katanya membuatku menghela nafas.
“baiklah”
            Akhirnya kami memutuskan untuk berbalik mengejar target pertama. Disela-sela aku mengatur nafasku, aku masih merasa yakin bahwa aku tak salah. Benar, selama ini feelingku tak pernah salah!. Namun kiranya percuma saja, mereka tak akan percaya dengan feelingku akhir-akhir ini. Aku harus cari cara !.
   Aku menoleh kearah ransel yang dikenakan Annie, sebuah ide dengan cepat mendatangiku. Aku memang seorang pemikir yang cerdas kalau soal urusan kabur-mengabur dalam tugas. Aku melepas mini phoneku, lalu menggulungnya menjadi gumpalan kecil. Lalu menempelkannya pada kancing ransel Annie yang terbuat dari magnet dengan cepat, sangat cepat, –dan aku cukup yakin kalau tidak ada seorangpun yang sempat menyadarinya– . Dengan begini, Mr. Robbert akan mengira bahwa aku tetap bersama mereka, karena sinyal sensor keberadaanku dilacak dari mini phone itu. Aku segera melambatkan lariku sehingga memberi sedikit jarak diantara kami, lalu setelah cukup jauh aku membelok ketikungan dan memutar ke Barat Daya. Baiklah, kali ini akan kubuktikan ke Mr. Pungu itu kalau aku benar!.
“ bodohnya Mr. Robbert tak sadar kalau aku mungkin tidak se-Pintar dia tapi aku lebih Cerdas darinya ”, gumamku.
            Aku berhenti sebentar untuk mengatur nafas, lalu mulai berkonsentrasi melacak dengan memejamkan mataku lagi. Aku melihatnya !, nenek itu sedang berjalan, mendekati seorang perempuan berambut panjang dan pirang dari belakang. Gadis itu, rasanya tak asing. Itu….
 AKU !? ,
   Aku membalikkan badan, dan benar saja!. Seorang nenek yang sedang menjinjing seekor anjing berwarna putih berada tepat dibelakangku.
 Nenek itu melengkungkan bibirnya dengan polos,
“ sedang apa anak muda cantik seperti kamu malam-malam begini keluyuran, nak? ”, tanyanya dengan suara bergetar.
“ Loh nek, seharusnya saya yang bertanya. Sedang apa nenek malam-malam begini mengajak seekor anjing jalan-jalan? ”, tanyaku sambil mengkerutkan alis, meraba-raba saku jaketku untuk menggenggam bius laser ditanganku.
  Nenek itu memasang raut sedih,
“ Nenek rabun cahaya, nak. Saat siang hari, nenek tidak bisa melihat jalan dengan baik. Maka itu nenek hanya bisa mengajak Duke jalan-jalan saat malam hari”, katanya sambil mengelus-elus bulu anjingnya. Aku jadi merasa bersalah,
“ maafkan saya nek, rumah nenek dimana?, perlu saya antarkan?”, tawarku dan nenek itu menggeleng sambil  tersenyum.
“ tidak usah nak, rumah nenek hanya tinggal beberapa meter lagi saja”, jawabnya.
“ baiklah kalau begitu nek, maafkan saya. Sampai bertemu lain waktu ”, kataku sopan sambil membungkuk hormat lalu berjalan kearah target utama.
            Aku meregangkan badanku, harusnya tadi aku mendengarkan kata Mr. Robbert. Aku mengeluh kecewa sambil menguap lebar dan memejamkan mata. Sekilas terlihat dalam pejaman mataku itu, nenek itu sedang memegang sebuah pistol hitam dan mengarahkannya padaku. Aku langsug terkejut dan melompat jauh kekanan diiringi suara letusan pistol. Hampir saja, bisa dibayangkan kalau tadi aku tidak sempat memejamkan mata. Aku menatap nenek itu, benar. Ia sedang menggenggam sebuah pistol hitam, raut wajahnya yang kecewa tidak selugu saat pertama bertemu. Kali ini ia terlihat kasar dan menyeramkan.
Cih, sudah kuduga kau bukan wanita biasa ! ”, katanya lantang namun dengan suara yang tetap bergetar.
“ Nenek !?, nenek sebenarnya siapa !? ”, seruku masih dalam keadaan kaget sambil mengatur nafasku mengingat keberuntunganku tadi.
“ siapapun aku itu bukan urusanmu! ”, bentaknya sambil menekan pelatuk pistol dengan jari telunjuknya, untung saja aku segera melompat kekiri sebelum peluru itu mengenai salah satu bagian tubuhku.
            Sial, aku mesti cari bantuan !’, pikirku sambil meraba-raba telingaku. Oh shit, aku lupa kalau aku sudah melepas mini phone itu !. Terkadang aku jadi merasa diriku bodoh karena tak pernah memperhatikan segala resiko yang akan terjadi seperti ini.
“ hentikan nek !, saya bukan orang jahat !”, teriakku dengan suara lantang sambil meloncat lagi dan lagi kearah kiri sejauh mungkin diiringi dengan suara pistol yang berkali-kali terdengar begitu keras.
“ justru karena ‘Kau bukan orang jahat’ lah aku berbuat begini padamu anak muda!”, katanya kasar sambil terus menerus menekan pelatuk pistol yang membuatku kewalahan untuk menghindar. Akhirnya aku kembali meraba saku jaketku, lalu menekan tombol on pada laserku dan mengarahkannya pada nenek itu. Sialnya ia berhasil menghindar!.
“ ternyata aku salah sudah meremehkanmu nak! ”, kata nenek itu lantang sambil bengong melihat penenuan laser biusku ini. Sekarang gantian ia yang melompat kesana kemari untuk menghindar.
“ nenek harusnya sudah sadar sejak tadi ”, kataku sambil tersenyum, merasa bahwa sebentar lagi kemenangan akan berada ditanganku mengingat lawanku ini adalah seorang nenek tua yang sudah rapuh. Maksudku, pasti seseorang yang sudah tua akan cepat kelelahan jika melompat sejauh itu berkali-kali bukan?.
“ Menyerah saja nek!, Nenek pasti akan ka…”, suaraku terhenti karena tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Aku segera berpindah kekanan, namun saat aku hanya mulai menghadap kanan, rasa sakit yang teramat sangat terasa pada lengan bagian atas tangan kananku, diiringi dengan suara pistol dari arah kananku dalam posisiku sekarang, dan arah belakang dari posisiku tadi.
            Aku menjerit pelan saat aku dapat merasakan tangan kananku mulai mati rasa, hingga laser yang kugenggam ditangan kananku jatuh dan menggelinding ditanah. Aku menoleh keji pada orang dikananku. Lelaki berbadan tinggi dan memakai jas beserta kaca mata hitam. Sambil tersenyum puas ia mengangkat senapan panjang yang ia pegang ditangan kanannya.
“ KAU ! ” aku baru saja ingin memaki-makinya, namun sebelum itu terjadi dengan kecepatan tangan yang luar biasa entah kapan ia menurunkan senapannya, sebuah peluru menancap lagi pada lengan yang sama. Membuatku menjerit semakin keras, diiringi darah yang sudah mulai mengalir deras dari luka yang dibuatnya.
            Saat itu yang dipikirkan dibenakku untuk kabur, karena aku tidak memiliki kekuatan lagi untuk loncat kesana-kemari. Dan terlebih lagi aku tak ingin seorangpun diantara mereka berhasil menancapkan peluru tepat dijantungku. Aku tak akan mati secepat ini !. Akupun –dengan semua sisa tenaga yang ada– berlari begitu kencang kearah Timur Laut. Namun feeling-ku berkata lelaki itu mulai mengarahkan senapannya lagi padaku. Jadi aku segera berbelok melewati gedung-gedung besar dan berlari sejauh dan secepat yang aku bisa. Disaat aku merasa cukup aman, aku menghentikan langkahku dan bersender pada dinding sebuah rumah yang sudah gelap. Mungkin pemiliknya sudah tertidur lelap. Akupun menutup mataku, dalam pandanganku mereka sedang tertawa sambil memainkan laser biusku. Sial!, kupikir lelaki itu mengejarku!. Memangnya dia pikir aku bisa mati secepat itu apa !?.
“ Arggh…”, erangku sambil memegangi lenganku yang semakin mengeluarkan banyak darah. Lenganku benar-benar mati rasa saat ini, dan pikiran bodoh mulai menghantuiku. Aku berperang dalam pikiranku sendiri antara mati dan tidak, seraya kelopak mataku mulai terasa berat dan berat. Namun aku tidak ingin terlelap karena aku takut aku tidak akan membuka mataku lagi setelahnya.
            Aku terduduk ditanah, lalu tanganku meraba-raba isi ranselku berharap ada sesuatu didalam sana yang akan sangat berguna saat ini. Sesuatu berada dalam genggamanku, dan saat aku mengambilnya itu adalah sebuah senter yang sebenarnya merupakan sinyal S.O.S yang akan terhubung pada miniphone dan benda yang sama pada Annie dan Stevanie. Aku benar-benar merasa sangat bodoh saat itu. Kenapa aku tidak memakainya sejak tadi !?. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk menyesal, aku harus menyalakannya. Dan sial untuk kedua kalinya, sebelum aku berhasil menekan tombol on pada dinding senter. Sebuah cahaya yang sangat menyilaukan mata muncul dari balik bangunan dibelakangku, diiringi dengan suara decitan keras dan panjang yang aku sendiri tidak tahu apa itu. Namun kelopak mataku yang sudah susah payah kutahan untuk tidak berpejam akhirnya terpejam juga karena refleks menahan silau. Sial, aku merasa apa yang aku takutkan terjadi. Mataku tak dapat dibuka lagi!, dan sedetik selanjutnya kegelapan memenuhi kepalaku. Apa aku akan benar-benar mati ?.


            Aku merasa otakku kosong, dan kepalaku yang berdenyut sangat cepat membuat pikiranku melayang. Namun dalam bayanganku terdengar suara decitan pintu yang terbuka. Aku ingin membuka mataku dan melihatnya. Namun tak bisa, semakin dicoba terasa semakin berat. Tetapi panca indera pendengaranku tetap berfungsi dengan baik. Suara langkah sepatu semakin keras mendekatiku. Terdengar beberapa kali suara dentingan gelas atau piring kaca –menurutku– sebelum semua suara itu berhenti menjadi sebuah keheningan. Dalam denyutan kepalaku yang semakin sakit aku merasakan sesuatu yang basah menempel erat dibibirku. Kemudian cairan dingin masuk kedalam mulutku dari bibirku yang sedikit terbuka karena sesuatu yang sedikit kasar dan basah terasa bergerak-gerak berusaha membuka bibirku. Mau tak mau cairan itu tertelan masuk kedalam kerongkonganku. Dan selanjutnya aku merasa sesuatu yang menempel dibibirku itupun terlepas dan hawa dingin seketika terasa menusuk mulutku. Beberapa detik selanjutnya aku merasa denyutan kepalaku semakin pelan dan pelan. Namun saat aku mulai merasa lega, sesuatu yang dasyat membuat badanku berguncang hebat, kejang-kejang dan denyutan dikepalaku semakin kencang bahkan lebih kencang dari sebelum-sebelumnya. Dan setelah semua rasa sakit itu aku merasa semua panca inderaku tidak ada yang berfungsi satupun. Indera pendengaran, penciuman, bahkan otakku yang ikut terasa berdenyut membuatku semakin melayang jauh dari batas kesadaranku. Selanjutnya aku tak dapat berpikir apapun selain berpikir ‘aku akan mati’.


Agent Academy (part I)

Semburan debu pada wajahku langsung membuatku terbatuk – batuk. Sungguh, sulit sekali rasanya membuka pintu kecil yang ada dihadapanku ini. Pintu  kecil bercat coklat yang sudah terkelupas, menyisakan warna coklat susu yang telah pudar, dipenuhi dengan debu dan bekas sarang laba – laba. Aku bersumpah wanita lainnya pasti akan merasa jijik untuk melihat bahkan menyentuhnya, tapi tidak bagiku dan teman – temanku, itulah kami. Siswi dari Agent Academy, siswi – siswi terpilih dari seluruh penjuru dunia. Kami Pintar?, tidak, bahkan mungkin kami jauh dari kata ‘Pintar’. Tapi otak logis kami yang tinggi membuat kami dapat masuk kedalam akademi ini. Akademi khusus untuk anak – anak cerdas dan bukan pintar. Murid – murid yang memiliki kemampuan tinggi untuk menciptakan sesuatu, bertarung pada musuh, dan berpegang teguh pada sebuah rahasia, bahkan lebih.
            Dan mungkin umur kami rata – rata masih 16 tahun, tapi otak kami sepadan dengan para ahli teknologi dimuka bumi ini yang sudah berumur berpuluh – puluh tahun.
“ Sampai kapanpun kamu takkan bisa membukannya, Cell ”, bisik salah satu teman dibelakangku.
“ Diamlah Annie , aku tak mungkin gagal kali ini”, sahutku sambil terus mencoba membuka pintu kecil itu. Kalau kalian mau tah kenapa aku begitu berpikiran keras ingin membukanya, karena itu adalah salah satu pintu kuno yang dapat menjadi jalan tembus keluar dari akademi ini. Tidak ada yang tahu tentang pintu ini, hanya aku dan teman – temanku. Itupun karena kami menemukannya tak sengaja saat kabur dari pelajaran MTK, pelajaran yang sangat kubenci.
“ tak akan mungkin Cell ”, Annie menarik lenganku, membuatku mau tak mau menghadap kepadanya.
“ itu pasti pintu kuno yang sudah berabad – abad tidak terpakai, besinya pasti telah karat dan membuar satu sisi dan sisi lainnya menempel erat ”, jelasnya sambil mengibaskan sebagian poni yang jatuh menutupi matanya.
            Annie Morgan , salah satu siswi yang memiliki kecerdasan cukup tinggi. Dia menjadi salah satu kebanggaan guru – guru disini. Matanya bulat dan bola matanya hijau pekat, bulu matanya lentik, berkulit putih, berbadan tinggi dan langsing, serta berambut panjang pirang dan berombak. Sungguh, aku bersumpah dia tak pernah memakai rias wajah apapun untuk membuatnya kelihatan secantik ini.
“ tapi kita harus mencobanya, atau siswi lain akan mengetahuinya diam – diam”, gerutuku sambil menatap matanya tajam.
“ Cellonia Sayang…”, Stevanie Perticia bergumam, dia adalah salah satu anak pemegang saham tertinggi di Itali. Kulinya Kecoklatan dan matanya sipit, membuat semua orang berpikir mungkin dia adalah gabungan dari orang Negro dan China. Tapi nyatanya dia benar – benar asli orang itali dan tidak ada keturunan apapun dibalik itu.
“ Kamu tak akan pernah bisa membukannya”, Stevanie terduduk dihadapanku membuat rambut hitamnya yang lurus dan lebat jatuh menutupi kedua pipinya.
“ Kecuali…”, lanjutnya sambil menatap kami satu persatu.
“ Kecuali kalau kita bisa membuat  sebuah zat kimia yang bisa melelehkan karat besi, yang membuatnya melekat keras”.
Oh Stevanie, your Genius !”, seruku sambil memeluknya erat.
you always have a good idea, honey…”, pujiku lagi.
“ Oh come on, kamu terlalu memuji sayang”, katanya sambil tertawa pelan.
“ Dan, apakah sekarang kita bisa kembali kekamar dan menyiapkan pelajaran kita selanjutnya ?, aku yakin kalian tidak akan mau terlambat di pelajaran Periksa dan Teliti Mr. Robbert”, Annie membalikkan badannya dan melangkah keluar menuju  saluran terowongan sempit yang menghubungkan tempat ini dengan kamarku.
“ Oh yeah, dan kita akan melanjutkan ini nanti malam”, kataku sambil bangkit dan mengikutinya dari belakang.


            Aku menguncir kuda ramburku yang pirang dan lurus dengan sebuah jepitan mungil pemberian Mom waktu kecil. Oh, apakah aku sudah bilang bahwa aku sudah tidak memiliki orang tua lagi?. Yeah, Mom meninggal saat aku kecil dan Dad menyusulnya karena melindungiku dari kawanan bersenjata yang saat itu ingin mengambil salah satu hasil penelitian Dad yang bahkan sampai saat ini aku tak tahu apa itu. Dan kemudian aku dirawat oleh Paman dan Bibiku yang mana mereka adalah salah satu pendiri akademi ini.
“ oh ayolah, tanpa polesan bedak itu kau sudah terlihat cantik sayang”, ucap Annie saat aku tengah menepukkan beberapa tepukan bedak pada wajahku. Aku langsung menatapnya - seakan berkata apa kau menghina – dengan tatapan sedikit sinis.
“ atau kau ingin kuberi tahu bahwa pelajaran Mr. Robbert akan dimulai, tiga-menit-lagi”, dua detik setelah dia mengatakannya aku langsung bangkit dan mengambil bukuku.
“ Kau harus cepat atau kau akan tertinggal”, Annie tersenyum tipis sesaat , memberi aba – aba, lalu sedetik setelahnya dia sudah tidak ada dikamar itu.
            Aku berdecak kecil lalu berlari mengikuti dengan kecepatan penuh. Melewati koridor panjang yang sepi, dan saat itu sudah tidak ada seorangpun disana. Aku bersumpah kalau aku bukanlah Agent Girl aku pasti sudah telat. Karena kami memiliki kecepatan berlari yang lebih tinggi dari manusia biasanya.
“ Kau hampit telat tiga detik Mrs Cellonia”, seorang lelaki berbadan tegap dan terlihat begitu tampan dan bijaksana berdiri didepan pintu ruangan yang begitu besar.
“ Yeah, Mr. Robbert…”, kataku sambil mengatur nafas.
“ dan itu terbilang hampir”, lanjutku. Mr. Robbert tersenyum kemudian mempersilahkanku masuk kedalam.
“ Baiklah , apakah aku boleh bilang bahwa kau hampir telat tiga detik Cell ?”, decak Stevanie dengan suara yang hampir tak terdengar manusia biasa. Namun kami, para pelajar khusus agen mata – mata pasti dapat mendengarnya.
“ yeah, hampir ”, gerutuku dan kemudian Mr. Robert masuk kedalam ruangan.
“ Baiklah Ladies, silahkan duduk” , katanya dan kemudian semua siswi telah duduk ditempatnya masing – masing.
“ Hari ini kita akan melakukan Open Lesson , kita akan memata – matai Sekelompok Penyeludup disekitar Pasar Malam disana” , Mr. Robbert menekan sebuah tombol merah disisi papan tulis dan kemudian papan tulis itu berubah menjadi layar dan menampilkan peta dimana merupakan arah jalan dari akademi ketempat yang dituju
– pasar malam– .
            Aku tersenyum lebar mengetahui bahwa kami akan keluar dari akademi ini. Berarti aku dapat kesempatan untuk memata – matai sesuatu yang bukan objek mata – mata. Hehee, itulah aku, sedikit melenceng, tapi semua guru bangga karena kagum mengapa aku bisa terbebas dari awasan mereka yang ketat dan teliti. Yeah, dengan kata lain seperti itu.
But , Ladies ”, Mr. Robbert mengetuk – ngetuk papan tulis berlayar itu tiga kali. Meskipun tidak ada salah satu dari kami yang tidak menatapnya.
“ Kalian tidak sendiri melakukannya, Boy’s Agent akan bergabung dengan kalian untuk menyelesaikan misi ini ”, lanjutnya. Semua murid kemudian terpekik kecil dan membelalakan mata seolah tak percaya.
            Boys Agent, salah satu bagian dari akademi ini. Namun kami dipisah begitu jauh agar kami tetap focus pada tugas kami masing - masing. Jika Girl’s Agent disini, mungkin Boy’s Agent terletak sekian kilometer dari sini. Kupikir.
“ Baiklah, Silahkan Keluar Gentelmans”, kata Mr. Robbert membuat kami berpikir. Tidakkah seharusnya yang dikatakan adalah ‘silahkan masuk’ dan bukan ‘silahkan keluar’. Dimana kita menyuruh seseorang masuk dari luar kedalam. Atau mungkin… Ah! Apa mungkin mereka sudah ada didalam sini sejak tadi !?. Pikirku sambil melemparkan pandangan kebelakang, namun tak ada siapa – siapa disana. Mungkin semua siswi sudah menyadarinya juga karena semuanya telah menghadap belakang sepertiku.
Ladies, apa yang kalian lihat ?. Biarkan mereka memperkenalkan diri dulu”, kata Mr. Robbert sedikit terkekeh dan ketika kami menghadap kedepan lagi, sekelompok pria seusia kami sudah berdiri tegak disekelilingnya. Apa ? Sejak kapan ?.
What the hell ~”, desisku pelan, sangat pelan, mungkin lebih pelan dari 0,5 oktaf.
No one hell in here Girl ”, kata seseorang yang membuatku tersentak. Bagaimana mungkin ? aku bahkan berbicara lebih pelan dari penangkapan suara pada indra pendengar yang dimiliki manusia.
            Aku menatapnya kaget, dan orang itu menatapku juga. Laki – laki yang persis berdiri disamping Mr. Robbert. Laki – laki berwajah tegas dan berahang kuat. Garis matanya panjang dan lebat. Dan semua orang –maksudku para siswi girl agent academy- menatapku seakan mendengar percakapan tak disengaja kami.  Ia memberikan seutas senyum padaku sebelum dia mengalihkan pandangan lagi.
“ okay, Ladies”, Mr. Robert melanjutkan pembicaraannya.
“ mungkin kalian sedikit penasaran mengapa kalian digabungkan dengan Boy’s Agent. Yah… kupikir kalian sudah mengerti seberapa resiko tinggi apabila seorang atau lebih tepatnya sekumpulan gadis melawan para pengedar tingkat tinggi. Jadi kupikir malam ini, tepatnya pada jam 9 malam. Kalian sudah berkumpul disini, dan saat itu kalian akan mengetahui kelompok kalian”, jelas Mr. Robbert.
“ oh, dan Mrs. Cellonia”, katanya tiba – tiba, dan saat itu aku bersumpah pasti semua siswa siswi disana mengarahkan pandangannya kepadaku.
“ kali ini jangan coba – coba melenceng dari tugas lagi”, Mr. Robbert kemudian tersenyum membuat para siswi berbalik kagum melihatnya.
“ Kecuali kalau kau ingin tahu apa penemuan terbaruku”.


“ apa – apaan itu”, desisku sambil mengaduk - aduk campuran asam kimia dan glukosa didalam tabung penelitian kecil. Tepatnya kami kini berada didalam Lab Kimia, tempat istirahat kami untuk – kau tahu – membuat  penemuan yang kami rencanakan sebelumnya.
“ dia membuatku sangat malu”, gerutuku lagi.
Oh dear”, Annie memutar-mutar sekrup kecil pada sisi kiri tabung kimia lalu menatapku.
“ tapi kau tahukan, maksudku, seberapa tampannya dia ?”, lanjutnya.
“ Jangan katakana padaku, jangan”, sahutku lagi, kali ini menatapnya sinis. “ atau aku akan muntah”.
“ Yeah, aku tahu kau sangat membenci Robbert”, kali ini Stevanie angkat bicara.
“ meskipun aku tak tahu apa penyebabnya” , lanjutnya sambil serius mengutak – atik benda kecil yang bahkan aku tak tahu apa itu.
“ baiklah, kupikir kita harus menunngu besok pagi hingga bisa memakai cairan zat ini”,kataku sambil menutup tabung kecil itu, lalu menaruhnya dikantung rahasia dalam tas kecilku. Kau tahu?, kantung rahasia itu dalam arti bahwa kantung itu akan muncul apabila kita menekan tombol bergambar bunga dibagian depan tas, yang mungkin kita akan berfikir itu hanya mute – mute penghias biasa.
“ dan kupikir alat ini telah selesai juga”, tukas Stevanie sambil tersenyum bangga pada benda kecil yang sejak tadi ia pegang.
“ apa itu ? , penemuan baru ?”, Annie duduk disisi Stevanie.
“ Yep, ini Handy – Camera, biasanya kita pasang ini ditempat dimana seseorang tidak menyadarinya “, jelas Stevanie sambil mendekatkan benda kecil itu kekancing baju dan langsung terjadi gaya tarik menarik dari keduannya hingga mereka menempel erat.
“ dengan daya Magnet tentunya, tidak hanya dikancing, tapi kita juga bisa menempelkannya dibando, dianting, atau bisa juga…”
“ Kontak Lens ?”, tanyaku cepat. Dan dia tertawa.
“aku bahkan belum pernah memikirkannya, Cell-ku sayang “, katanya. “ dan apakah mungkin kau pernah tahu bagaimana rasanya ketika ada sesuatu yang menempel dimatamu, apalagi jika itu adalah alat kecil yang memiliki arus listrik didalamnya, huh?”, jelasnya membuatku sedikit mencibir. Yeah, walaupun sebenarnya omongannya itu ada benarnya juga sih.
            Kami, para Girl Agent, memang tidak pintar dalam mata pelajaran pada khususnya. Namun kami pandai dibidang Sains. Maka dari itu kami sering menciptakan sesuatu yang bahkan penemu – penemu hebat diduniapun belum pernah memikirkannya. Contohnya seperti bando pink yang sering dipakai Annie. Siapa yang tahu kalau bando itu ternyara adalah sebuah MP3, dimana ternyata ada kabel super tipis yang meghubungkan kepanca indera pendengarannya dan bahkan aku sendiri tak tau kapan dia pernah menggunakannya. Disela – sela pelajaran MTK ? , disaat para guru atau senior sedang menerangkan sesuatu?, entahlah hanya Ia yang tahu. Oh, atau misalkan dengan dasi Mr. Robbert yang gosipnya bisa membuat dia tahu siapa saja orang yang tidak focus atau malas – malasan saat pelajarannya ?. Bahkan kau tidak akan bisa melemparkan kertas keteman sebangkumu meskipun Mr. Robbert sedang membelakangimu. Entah bagaimana caranya, belum ada satu dari kami yang bisa memecahkan apakah itu hanya Gosip atau Kenyataan.
“ Cell sayang, apakah kau tahu betapa tampannya dia ?”, kata Annie tiba – tiba membuatku memasang mimik seakan malas dan bosan.
“ Sudahlah annie, kau telah mengulang perkataan itu berkali – kali. Maksudku, aku tahu seberapa tampannya Mr. Robbert, tapi apa bisa kalau sekali – kali kau tidak…”,
“ Bukan Cellonia sayang, bukan Mr. Robbert. Maksudku, apa kau menyadari betapa tampannya dia, orang yang memperhatikanmu sejak tadi itu ?”, potong Annie dengan suara lebih halus, dan aku menoleh kearah pandangan matanya.
Baiklah, sudah cukup, lelaki itu lagi. Lelaki yang sudah membuatku malu – atau tepatnya sedikit malu– saat diruang  Periksa dan Teliti Mr. Robbert beberapa saat yang lalu. Dan dia melihatku, oh tidak. Kumohon jangan bilang dia menaruh perhatian padaku. Karena hidupku yang sejak kecil tidak pernah bergaul dengan laki – laki selain Dad, Uncle, dan para guru lelaki lainnya (Mr. Robbert atau sebagainya), membuatku sedikit berpandangan miring terhadap laki – laki. Maksudku, semenarik apa lelaki itu ?. Padahal perempuan seperti kami bisa Jauh Lebih Pintar dari mereka. Tapi yang membuatku membencinya, karena dia membuatku malu. Meski sedikit, tapi membuatku sebal. Baiklah, kalian bisa anggap aku ini egois atau terlalu sensitive. Tapi ini juga merupakan salah satu alasan megapa aku begitu membenci Mr. Robbert, dengan kenyataan bahwa dia terlalu sering membuaku malu didepan teman – temanku. Meskipun mungkin itu juga merupakan kesalahanku. Yeah, aku tau itu.
“ baiklah, apa kita bisa keluar dari sini dan menyiapkan untuk Open Lesson nanti ?”, kataku segera dengan suara sepelan mungkin meskipun aku tau orang itu pasti mendengarnya.
“ sekarang ?, kenapa kau tidak menegurnya atau mungkin menyapanya sebelum…”,
“ baiklah Annie-ku sayang, kau bisa menegurnya jika kau mau. Tapi bisakah kau lihat bahwa 1jam lagi Mr. Robbert akan menghukum kita bila kita terlambat ?”, celetukku sambil bangkit, berbalik, dan berjalan kearah pintu keluar.
“ kalau begitu aku duluan”, kataku dengan maksud pamit. Namun selanjutnya aku tahu bahwa kedua temanku itu juga telah bangkit dan mengikutiku dari belakang. Meskipun tidak ada suara sedikitpun dari langkah maupun bibir mereka.


“ oh Annie, kita sekelompok !”, kataku sambil memasang mini phone communication ditelingaku. Lalu jam penunjuk arah ditanganku.
“ oh ya ? tau dari mana ?”, Annie mengangkat sebelah alis matanya.
“ naluri instingku ?”, aku tertawa kecil “aku serius”.
“ Yeah, mungkin saja instingmu ada benarnya juga”, katanya sambil memasang mini phone communication miliknya.
“ ahaha… lalu apakah instingmu mengatakan kalau aku juga akan sekelompok dengan kalian, Cell sayang ? ”, katanya membuatku menggeleng.
“ entahlah”, kataku lalu memakai sweater putih kesayanganku. Kau tau bagaimana dinginnya malam ini ?. Apalagi kurasa tadi baru saja hujan.
“ yasudah, ayo cepat kita kumpul”,lanjutku lalu berjalan keluar kamar.
“ apakah itu penemuan barumu ?”, Annie berjalan disampingku lalu menatap jam hitam bermodel unik – belum pernah ada –  ditanganku.
“ huh ?, yeah… ini sebenarnya bukan jam biasa, tapi jam yang bisa menunjukkan arah tujuan kita, lihat”, kataku lalu memencet tombol dibagian kiri jam. Dan yang terjadi selanjutnya adalah, layar jam itu berganti gambar sebuah peta. Letak kami ditunjukkan dengan warna biru, dan tujuan kami warna kuning. Yeah, ruangan terdepan asrama tentunya.
“ wow, kapan – kapan aku akan meminjamnya”, gumam Annie.
“ silahkan sayang, asal kau tak merusaknya”, aku tersenyum kecil lalu masuk kepintu yang tepatnya adalah pintu keluar menuju ruang depan asrama. Dan disana sudah berkumpul banyak orang, namun kali ini berbeda. Biasanya hanya ada wanita dan Wanita. Namun sekarang menjadi Wanita dan Pria. Yeah, Boy Agent ada disini.
“ pasti Open Lesson kali ini akan seru !”, kata Stevanie setengah menjerit. Namun aku tak mempedulikannya, sama sekali tak mempedulikannya.
“ Baiklah, kali ini instingku mengatakan kita semua sekelompok ”, kataku lagi, dan kali ini insting mereka mengatakan demikian juga.
“ Insting yang tajam Mrs. Cellonia”, Mr. Robbert mendekati kami.
“ dan insting yang tepat juga”, dia tersenyum kecil, dan kami menjerit senang karena ternyata kami benar – benar sekelompok. Ini berarti kami bisa melenceng lebih mudah, maksudku bermain – main sebentar sebelum menjalankan tugas. Tapi deheman Mr. Robbert menghentikan segalanya.
“ tapi sayangnya instingmu tidak mengatakan siapa orang lain yang bergabung dengan kalian Mrs. Cellonia”, katanya kemudian.
“ maksudku apakah kalian mengetahui bahwa aku tidak akan membiarkan kalian mengulang kejadian – kejadian sebelumnya. Kabur dari tugas. Dan aku sudah mengantisipasinya”, Mr. Robbert tersenyum, kali ini senyum kemenangan.
“ kalian akan bersama Ron Vinabort ketua Boys Agent dan Steven Lilyard, wakilnya”, katanya dan selanjutnya dua orang laki – laki berdiri sudah disampingnya. Entah muncul darimana.
oh tidak”, gumamku pelan melihat dia, maksudku laki – laki itu. Laki – laki yang bisa mendengar kelukan 0,5 oktafku, dan laki – laki yang menatapku di Laboratorium.
            Ron Vinabort, kupikir itu namanya. Menggenakan jaket hitam bergambar api, celana jins ketat, kaos berwarna putih pucat, dan memakai headphone ditelingannya. Dan selanjutnya kupikir itu adalah alat komunikasi pendengaran saat melihat lelaki satunya lagi juga memakai headphone yang sama. Steven Liyard, Mukanya sangat manis, kalau saja rambutnya panjang pasti kupikir ia seorang perempuan. Lelaki itu memakai sweater coklat dan celana panjang, rambutnya ikal dan pirang kecoklatan. Sebuah senyum dibibirnya membuatnya terlihat semakin manis.
“ Hai ladies”, sapa mereka bersamaan. “mohon kerjasamanya”.
            Aku cemberut kecil lalu membuang muka. Sial, aku akan benar – benar membenci Mr. Robbert setelah ini. Pikirku dan tanpa aba – aba masuk kesebuah mobil yang menurut instingku lagi, ini adalah mobil yang akan kunaikkan, maksudku kelompokku tepatnya.
“ Cell, kau sangat menyebalkan”, Annie masuk kedalam mobil menyusulku. Dan tanpa aba – aba juga.
“ kau membuatku tak bisa berkenalan dengannya”, katanya lagi sambil melirik keluar jendela mobil. “ sial, ternyata Stevanie mendahuluiku ”, desisnya.
“ kalau kau memang berfikir seperti itu kenapa kau tidak keluar sana dan berkenalan dengan mereka ?”, sindirku secara halus lalu melirik sinis kearah Ron diluar sana.
“ dan membuatku seakan cewek murahan yang sudah masuk kedalam keluar lagi hanya untuk berkenalan ?”, cetusnya. “ terimakasih tapi tidak !”.
Aku tertawa “ ternyata kau punya gengsi yang tinggi Mrs. Annie”.
“ yeah, sepertimu ”, Annie duduk disampingku, lalu kemudian Stevanie masuk kedalam, dan duduk disampingnya.
“ Pangeran Tertampan dan Pangeran Terimut didunia”, gumamnya sambil tersenyum – senyum dan melihat kedua subjeknya yang sedang menuju kedalam mobil lalu tak lama kemudian masuk.
“ Hi Girls”, sapa mereka dan aku hanya tersenyum tipis. Merekapun duduk dihadapan kami, dan Ron tepat duduk dihadapanku. Sial.
“ Well, apa kita bisa jalan sekarang ?”, kataku sambil melihat sinis kearah pengemudi yang baru masuk, dan orang itu menatapku sinis juga lalu berkata, “baik”.
            Diperjalanan ada beberapa hal yang kupikirkan, salah satunya dan yang terpenting adalah bagaimana caranya agar aku bisa bermain – main sebentar sebelum menyelesaikan tugas ini. Tapi Mr. Robbert kali ini tidak semudah itu, kupikir. Apalagi dengan adanya dua cowok ini, sial.
“ jadi apa kita perlu berkenalan sebelumnya ?”, Steven akhirnya angkat bicara.
“ Yeah, tentu saja ”, kata Annie sesegera mungkin, dan aku menghela nafas pendek.
“ Annie”, Annie mengulurkan tangannya dan kemudian dibalas dengan jabatan tangan Steven ,“ Steven”.
“ dan kau ?”, Steven mengulurkan tangannya padaku.
“ Cell, Cellonia Watson”, aku membalas jabatannya dan berusaha tersenyum.
“ ahaha, Cellonia Watson, catatan tentangmu sangat banyak dibuku agenda Mr. Robbert”, tiba – tiba Ron tertawa, dan aku langsung menatapnya sinis.
“ tapi kau membuatku cukup tertarik, nyonya”, dia mengulurkan tangannya, “Ron”.
Dan aku hampir saja tidak menjawab juluran tangannya kalau saja Annie tidak menyenggol sikuku dan meliriku seakan berkata ‘apa kau gila?’. Oh Annie, kalau kau bukan sahabat terbaikku tak mungkin aku mau menurutimu untuk menjabat tangannya.
“ Cell”, kataku, tapi kali ini aku tidak berusaha tersenyum dan segera melepaskan tangannya dan mengambil alih pembicaraan.
“ Baiklah, dan kupikir temanku Annie ini sejak tadi ingin sekali berkenalan denganmu Ron”, kataku cepat dan merasakan siku Annie menyenggolku lagi, kali ini lebih keras dan aku sama sekali tidak peduli.
“ Ron ”, lelaki itu mengulurkan tangannya pada Annie dan Annie membalasnya dengan gembira “Annie”.
            Baiklah, ini sudah cukup membuatku muak. Aku langsung kembali menatap keluar jendela, dan sedetik berikutnya sebuah suara terdengar di mini phone communication yang menempel ditelingaku. Suara Mr. Robbert.
“ Mrs. Cellonia , sebutkan ciri – cirri orang yang sedang duduk dibangku jalan beberapa meter sesudah mobilmu melewatinya”. Oh my god, matilah aku. Aku tak sempat melihatnya karena berkenalan tadi. Sial, seharusnya aku mengingat perkataan Mr. Robbert dikelas beberapa hari yang lalu. ‘ Jangan lepas perhatianmu pada apapun yang ada di sekitarmu biarpun itu hanya sedetik, maka kau akan melewatkan segalanya’. Baiklah Cell, jangan panik, gunakan nalurimu, semoga saja kali ini benar seperti sebelumnya.
Aku memejamkan mata, berkonsentrasi penuh pada naluriku, bayangan dalam pikiranku, dan keberuntunganku. Terlihat !
“ laki – laki berusia antara  40 sampai 46 tahun, kupikir 43 tahun. Menggenakan topi berwarna putih, kacamata hitam, jaket tebal berwarna biru, sambil memegang sebuah tas ransel berwarna hitam. Dan kumis tipis diatas bibirnya”, kataku lalu membuka mata dan rasa cemas seketika langsung berhamburan menggelitiku. Semoga keberuntunganku ada saat ini.
“ yeah, tepat”, aku langsung tersenyum lebar. Yeah!, instingku benar !. Thanks God !.
“ Dan apakah hanya itu yang ada dipikiranmu Mrs. Cellonia ?”, selanjutnya suara itu membuatku berpikir sebentar dan kemudian membelalakan mata, lalu menoleh kebelakang, berharap mobil kami belum terlalu jauh dari objek yang tadi kusebutkan. Astaga, aku benar – benar idiot !.
“ baiklah Mrs. Cellonia, lakukan yang semestinya ”, kata Mr. Robbert lalu hubungan kami terputus.
Aku langsung segera memakai ranselku erat – erat.
“ Berhenti disini !”, kataku dengan nada tinggi lalu mobil berhenti sebagaimana semestinya. Aku langsung membuka pintu.
“ Apa objek sudah ditemukan Cell ?”, Annie langsung bersiap dengan ranselnya.
“ yeah, objek dengan ciri – cirri yang tadi kusebutkan”, aku lalu turun dari mobil, diikuti semua orang yang ada didalamnya. Lalu aku menekan tombol pada jam penunjuk arah ditanganku. Layarnya langsung berubah dari bergambar jam, menjadi gambar peta kecil dimana letak kami berada dan sebuah titik kuning sebagai objek kami, aku membaca tulisannya keras – keras sambil berbalik dan mulai berlari. “objek ada 200meter didepan”, kataku.


Bloods behind ‘Gomaisme’ ( Part VI )


      Hosina mengikat rambutnya kekanan dengan kunciran berbentuk kkupu-kupu berwarna merah miliknya, sambil bersenandung pelan. Seragam sekolah dengan kemeja berwarna putih, rok pendek berwarna merah hitam dengan corak kotak-kotak yang sebangun, dengan dasi bermotif sama yang kini sudah terikat dengan rapih dilehernya. Ia memiliki perasaan sedikit lega karena hari ini ia mulai masuk kekelas barunya –dan yang pasti bukan kelas menyeramkan itu– ini berbeda, tentu saja. Kali ini kelas untuk manusia, benar-benar untuk manusia dan tidak ada satu gomaismepun didalamnya.
    Pintu diketuk dan Hosina menyahut. Kiota san muncul dari pintu yang perlahan terbuka, dengan jas hitam yang biasa ia pakai. Namun rambutnya yang terlihat beruban terlihat lebih rapih teratur kebelakang, mungkin baru saja disisir.
“ ada apa ?”, tanya Hosina.
“ tuan muda sudah menunggu dibawah”, Kiota san berjalan masuk lalu membuka tirai berwarna merah jambu yang masih tertutup. Sinar matahari yang terik perlahan masuk. Kiota sedikit menyipit seakan sinar itu menusuk matanya.
“ iya, baik. Saya akan segera kesana. Terimakasih Kiota san”, Hosina membungkuk hormat sebelum mengambil ranselnya lalu berlari pelan keluar kamar. Kamarnya saat itu tak jauh dari tangga sehingga ia bisa dengan leluasa turun keruang utama tanpa harus tersasar dirumah yang menurutnya sangat luas ini. Banyak pintu, ruangan, dan tangga dimana-mana. Ia berlari dengan cepat menuruni tangga dan mendapati Hyuga duduk disebuah sofa besar berwarna merah gelap. Sedang melamun, rambutnya terlihat berantakan seperti biasa, matanya menatap lantai namun masih bisa memperlihatkan warnanya yang merah. Tangan kanannya diangkat menjulur dibagian atas sofa, kaki kirinya dilipat keatas ditumpu kakinya yang kanan. Sebuah kalung perak terlihat bergelantung diantara kerah seragam yang sama dengan yang dikenakan Hosina.
“ lama ”, komentarnya bahkan sebelum Hosina sempat menapak pada tangga paling dasar.
“ maafkan aku”
   Hyuga berdecak,
“ semua perempuan memang selalu begitu”
“ maksudmu?”
     Hyuga bangkit dari sofa tempatnya duduk, lalu mengambil sebuah kunci berwarna hitam putih dengan gantungan berbentuk salib yang menggelantung. Kunci motor. Dan lagi-lagi tanpa menggunakan tas, tentu saja. Ia berjalan kearah pintu yang telah dibukakan Keito san sebelumnya. Sebuah motor besar berwarna merah yang terlihat begitu menyolok dan, keren, terparkir persis didepan pintu yang terbuka, dengan dua helm berwarna merah gelap dan merah terang diatasnya. Hyuga segera mengambil helm berwarna gelap lalu melempar yang terang kearah Hosina, membuat Hosina sedikit goyah dan hampir menjatuhkannya, dan untung saja tidak. Hosina segera memakai Helm itu dengan cepat saat Hyuga mulai menyalakan motornya diiringi dengan suara deru mesin yang kencang, lalu naik keatasnya, dibelakang Hyuga yang kini sedang memunggunginya. Kemudian Hyuga mengendarai motornya dengan begitu kencang sampai-sampai Hosina ingin memeluknya dari belakang, dan tentu saja itu tidak ia lakukan, bagaimanapun ia tidak berani. Akhirnya Hosina hanya bisa berpegangan erat pada penahan disisi kiri dan kanannya, meskipun begitu beberapa kali ia merasa ingin terjatuh Karena Hyuga mengendarai motornya dengan sangat kencang, ia bahkan sampai menggigit bibirnya karena ngeri.
    Kalau saja dia bukan Hyuga aku pasti sudah berpegangan padanya. Aku nggak bisa ambil resiko dengan tidak memeluknya dari belakang, tapi aku takut.
“ aku baru tahu kau ternyata masih takut padaku”, Hyuga tiba-tiba berbicara dari balik helm yang menutupi wajahnya. Suara angin yang menderi membuat Hosina menyipitkan matanya dan menajamkan indra pendengarannya.
“ Apa ? ”
“ Kubilang aku baru tau kau ternyata masih takut padaku !”, Hyuga meninggikan suaranya, namun yang terdengar ditelinga Hosina hanya seperti orang yang sedang berbicara biasa.
“ hah ?! a. aku tidak…”
“ nggak usah bohong, aku bisa mendengar apa yang kau ucapkan dari dalam hati tadi. Aku nggak melarangmu berpegangan padaku. Aku nggak mau ambil resiko kalau kalau kau jatuh dari motor, kepalamu terbentur keaspal yang keras, membuat kepalamu retak, darah keluar dari kepalamu, dan…”
“Diam !!”, Hosina menjerit ngeri lalu tanpa pikir panjang lagi tanggannya memeluk Hyuga dari belakang dengan erat, dan terasa sembulan otot-otot ringan dari balik kemejanya yang tertarik. Muka Hosina memerah ,
“ kau pernah melakukannya saat pertama kali kita naik motor bareng”.
“ apa? Jangan bercanda ! ”
“ kupikir lain kali kita jalan kaki seperti kemarin…”, Seru Hosina sambil membenamkan kepalanya kepunggung Hyuga.
“ maumu ”.
      Motor Hyuga masuk kedalam gerbang sekolah yang masih ramai didatangi murid-murid berseragam merah putih. Beberapa dari mereka menatap Hosina dan Hyuga, atau lebih tepatnya menatap wajah Hyuga yang sudah terlihat keren dari balik helmnya. Tentu saja, biasanya Hyuga datang kesekolah setelah bel masuk berbunyi, iapun jarang sekali terlihat berkeliaran disekolah, paling sesekali.
     Motor Hyuga terpakir sendiri diparkiran khusus untuk kendaraan bagi para guru. Padahal disekolah ini ada peraturan dilarang membawa kendaraan dibawah umur, namun Hosina pikir ada pengecualiannya jika itu Hyuga. Hyuga turun dari motornya sesaat setelah Hosina turun, lalu melepas Helmnya. Hosina bahkan bisa merasakan jeritan beberapa wanita disekitarnya saat melihat wajah Hyuga. Hosina melepas Helmnya lalu menyerahkannya pada Hyuga. Hyuga menaruhnya dibagian atas motornya tanpa takut kedua helm bagus itu akan hilang.
   Merekapun berjalan kearah ruang guru, namun sebelum masuk Hyuga berhenti didepan pintu. Hosina bingung sendiri,
“ ada apa?”
“ kau masuk sendiri, cari guru yang bernama Daezoki. Dia akan mengantarmu kekelas itu”, jelas Hyuga.
    Hosina mengintip kedalam ruangan, disana terlihat hanya terdapat beberapa guru yang sedang sibuk menata meja mereka masing-masing.
“ tapi”, saat Hosina menoleh kembali, Hyuga sudah menghilang. Hosina sempat mengumpat kenapa cowok yang satu itu cepat sekali menghilang. Kemudian sambil berjalan pelan dan hati-hati ia masuk kedalam ruangan itu, menghampiri seorang guru berwajah sangat cantik, berambut ikal pirang dan memakai lensa mata  berwarna hijau yang duduk paling dekat dengan pintu. Dirinya sedang sibuk menata beberapa tangkai bunga yang ada didalam vas kecil berwarna putih diatas mejanya.
   Hosina berdehem kecil,
“ maaf sensei mengganggu”
“ ya?”, sensei itu menoleh kearah Hosina dan menatapnya dengan pandangan tidak suka, tanpa senyum. Seakan Hosina tengah mengganggu rutinitas tiap paginya.
“ maaf sensei, boleh nanya. Daezoki sensei dimana ya?”, tanya Hosina, dan sebelum sensei itu menjawab, sebuah suara terdengar dari belakang Hosina.
“ ada perlu dengan saya?”, Hosina menoleh. Seorang lelaki yang terlihat sudah berumur 40-an, berbadan sedikit bungkuk dan kurus berada disana, melihat Hosina dengan mata penasaran.
“ ah, kamu…”, ia membulatkan mulutnya.
“ Hosina Mikoto ?”.
“ ya ”
      Sensei itu mengangguk ,
“ tunggu disini sebentar. Saya ambil buku dulu”, katanya sebelum pergi.
          Hosina memutuskan untuk menunggu didepan ruangan , tepat saat bel berbunyi, Daezoki sensei muncul dengan dua buah map berwarna biru dan sebuah buku super tebal dijepit erat diantara kedua lengannya. Sebuah kacamata baca bertengger dihidungnya yang mancung.
“ Mikoto”, tegurnya.
“ ya sensei?”, Hosina menoleh sambil merapihkan seragamnya yang mulai kusut.
“ saya yakin Hyuga sudah memberi tahumu dimana kamu pindah. Sekarang tolong kamu bawa map ini keruang kelas”, Daezoki sensei menyerahkan kedua map biru itu pada Hosina.
“ dan ini, pada buku ini halaman 132 , nomor satu sampai terakhir. Tolong kamu tulis dipapan tulis untuk dikerjakan. Disana sudah ada bangku kosong yang telah disediakan untukmu. Saya akan keruang kelas dalam beberapa menit”, jelasnya sambil menyodorkan sebuah buku super tebal yang membuat lengan Hosina hampir mati rasa.
“sensei, anda serius?.  Saya tidak tahu dimana kelas…”
“ kelasmu tepat di samping perpustakaan , paling pojok”, Daezoki sensei menyela.
“ tapi saya murid baru dan…”
“ kamu akan terbiasa dengan mereka, mereka semua anak yang ramah”
  Daezoki sensei berdehem kecil,
“ satu pesan saya, jangan pernah menyebut dari kelas mana kamu dipindahkan. Mengerti?”.
“ sensei, saya benar-benar…”
“ sudah sana pergi kekelas, ini sudah terlambat lima menit.”, sela sensei.
      Hosina menghela nafas dalam,
“ baik sensei”, katanya lalu membungkuk sebelum berbalik dan berjalan menjauhi Daezoki sensei. Guru yang mulai di capnya sebagai orang yang keras kepala. Bagaimana tidak, ia baru dikelasnya dan dirinya sudah disuruh untuk memberi tugas. Padahal biasanya semua guru akan memperkenalkannya terlebih dahulu didepan kelas kepada teman-teman barunya.
       Hosina berjalan pelan melewati beberapa ruang kelas yang sudah mulai sunyi. Beberapa kali memutar sebelum ia menemukan sebuah papan besar bertuliskan Library, dan sebuah pintu ruang kelas dengan angka romaji ‘X.1’ berwarna kuning emas disampingnya. Tanpa pikir panjang Hosina berjalan mendekati ruangan kelas yang benar-benar hening meskipun belum ada guru itu. Ia menarik nafas panjang sebelum mengetuk pintu dan masuk kedalamnya. Semua mata memandang kepadanya, dengan tatapan biasa, membuat Hosina ingin berlari keluar lagi.
“ Sumimasen, Ohayou minna san”, sapa Hosina sambil membungkuk, tanpa sengaja barang yang ia pegang bejatuhan kelantai. Dengan panik ia memungutinya, dan sempat lega karena tidak seorangpun menertawainya, malah melihatnya dengan tatapan bingung.
           Hosina berdehem sekali sambil berjalan kemeja guru di pojok kiri depan ruangan, menaruh map beserta sebuah buku tebal diatasnya. Lalu mengambil buku tebal itu, membukanya tepat dihalaman 132. Disana terlihat beberapa soal dengan rumus matematika yang tidak dimengertinya. Tapi ia berusaha menghiraukannya dan melihat sebuah sepidol papan tulis disisi kanan whiteboard. Mengambilnya, lalu menulis perintah seperti apa yang tadi disebutkan Daezoki sensei. Setelah selesai, matanya menyapu seisi ruangan yang sedang menatapnya dengan diam. Hosinapun berhasil menemukan sebuah bangku kosong disisi kanan ruangan, dan sialnya paling belakang. Tanpa pikir panjang ia berjalan mendekati bangku itu, lalu duduk. Ia dapat merasakan semua mata menatapnya, dan sedapat mungkin ia berusaha menyembunyikan rasa malunya.
             Akhirnya seseorang bangkit dari kursinya, lalu berjalan kearah Hosina. Seseorang yang menurutnya, sangat tampan. Berbadan, mata bulat, dengan dagu kaku , dan bibir sedikit lebar. Rambutnya yang terang keemasan, sedikit panjang, dengan poni yang dijepit kebelakang. Dan itu membuatnya terlihat semakin keren.
     Lelaki itu berhenti tepat di depan Hosina.
 “ siswi baru?”
“ ya ”, Hosina mengangguk.
“ hei, sombong sekali. langsung masuk tanpa memperkenalkan diri dulu. Merasa sok  hebat ya? ”, seorang wanita berambut pendek dan sedikit bob serta berwarna ungu melihatnya dengan tatapan sinis. Ia berdecak sambil memainkan pulpen birunya diantara kedua jari.
“ Yumi, hentikan”, cela lelaki itu dengan nada sedikit meninggi pada wanita bernama Yumi yang kini sudah menatap Hosina dengan sebal.
   ‘Bagus baru masuk sudah mendapat musuh’
“ mungkin dia hanya gugup ”, lanjutnya lalu tersenyum pada Hosina.
“ siapa namamu? ”
“ Hosina Mikoto , dan kamu? ”, Hosina membalas senyuman lelaki itu.
“ Mikoto san ” , Lelaki itu menjulurkan tangannya , “ kenalkan. Gori Miyashita ”
“ Miyashita san”, merekapun berjabat tangan sebelum Gori melepaskan tangannya dan berjalan kedepan ruangan.
“ oke all, kita dapat tugas dari Daezoki sensei”, Gori mengetok-ngetok permukaan papan tulis dengan dua buah jarinya. “ so, bagaimana?. Kita kerjakan sendiri atau bersama-sama?”, lanjutnya.
   Dan semua menyerukan kalimat yang sama, “ bersama-sama”.
“ well, bisa kita lihat disini. Ada dua puluh lima soal. Adakah yang sudah bisa mengerjakannya?”, katanya seakan dia adalah seorang guru.
“ aku ”, Yumi mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
“ baiklah Yumi, silahkan”, Gori menyodorkan spidol ditangannya pada Yumi yang berjalan mendekatinya. Selanjutnya Yumi tengah asik mengutak-atik rumus yang sama sekali tidak dimengerti Hosina dipapan tulis.
    Hosina memijat-mijat kepalanya. Ia menyimpulkan satu hal,kelas ini pasti murid-murid unggulan. Kelas ini pasti kelas unggulan. Wah sial, Hyuga pasti salah memasukannya kekelas itu. Harusnya Hyuga tau kalau Hosina payah dalam bidang akademik.
      Ditengah-tengah pergerakan bola matanya, Hosina menangkap sesuatu di buku teman sebangkunya yang terbuka lebar. Seorang gadis dengan kulit putih pucat, rambut panjang berwarna coklat yang dikepang dua, serta sebuah kaca mata model jadul yang terlihat sedikit retak disalah satu sisinya. Kacamatanya yang bulat sama sekali tidak seirama dengan wajahnya yang sangat kurus. Badannya terlihat sangat tegang, tetapi bukan itu yang menarik perhatianya.
          Dia pasti orang pintar, tentu saja. Semua soal telah dijawabnya dengan tulisan-tulisan kecil dan terlihat rapih.
“ siapa namamu?”, Hosina mencoba menyapa.
“ Sayaka Mii”, gadis bernama sayaka itu menjawab sambil tetap menunduk.
“ Sayaka, namaku Hosina senang berkenalan ”, Hosina menjabat tangan Sayaka.
“ kamu telah mengerjakan semuanya. Kenapa tidak mencoba maju kedepan?”
“ tidak. Aku malu”, Sayaka menggeleng.
“ loh?, kenapa harus malu?. Tidak ada yang harus membuatmu  malu bukan?”, Hosina terkekeh pelan.
“ tapi…”
“ sudah sana, aku yakin kamu pasti bisa”, potong Hosina.
“ a… aku tidak yakin…”
   Hosina mendengus, lalu mengangkat tangan tinggi-tinggi.
“ Miyashita san, Sayaka ingin menjawab soal selanjutnya”, serunya lantang.
“ baik, soal selanjutnya oleh Sayaka. Ayo maju”, Gori mengambil sebuah sepidol dilaci kecil tidak jauh didekatnya.
“ Hosina san !”, Sayaka menatap Hosina seakan ingin protes, namun Hosina malah membantunya berdiri sehingga mau tak mau ia berjalan menuju papan tulis.
    Hosina merasa puas karenanya. Matanya yang bulat mengikuti tubuh kurus Sayaka yang berjalan tanpa tenaga kedepan kelas, mengambil sepidol dari tangan Gori, dan tangannya yang gemetaran saat menggores whiteboard dengan tinta hitam, sehelai rambutnya yang jatuh menutupi mata kanannya, atau peluh yang mulai menetes dari dahinya. Hosina hampir melihat semua itu, termaksud saat seseorang yang dianggapnya sangat keren sedang tersenyum padanya dari depan kelas…

^w^   ^w^   ^w^

“ Hosina san”,
“ oh, Sayaka san. Ada apa?”, Hosina menoleh saat sedang memasukkan buku kedalam tas. Kunciran rambutnya sudah tidak sekencang tadi, bahkan tidak sedikit yang telah mencuat dari posisi semula.
“ boleh aku memanggilmu Hosina chan?”, tanyanya.
“ tentu saja, kenapa tidak?”, Hosina tertawa.
“ tapi izinkan aku memanggilmu Sayaka chan ah tidak….”, Hosina memutar kedua bola matanya.
“ Miichan…?”
“ jangan!”, sayaka berseru.
“ jangan nama itu!. Sangat aneh kedengarannya”
“ aneh bagaimana?, menurutku itu malah nama yang manis”, Hosina mengerutkan alisnya.
“ please… ”
“ oh, baiklah. Tapi jangan terlalu sering memanggilku dengan sebutan itu ya”, Sayaka menatap Hosina seakan kurang setuju.
“ siap!”, seru Hosina sambil berpose hormat. Kemudian keheningan menghampiri ruangan itu, bersamaan dengan bola mata Hosina yang membulat. Seonggok makluk dengan seragam kusut, berantakan, celana hampir melorot, dan rambut yang dibiarkan tak teratur masuk kedalam kelas. Tanpa salam, tanpa izin, dan tanpa senyuman. Kedua telapak tangan yang ia masukkan kedalam saku celananya menambah sensasi misterius, ditambah dari kedua bola matanya yang merah. Itu Hyuga, dan tanpa rasa bersalah sedikitpun ia berjalan santai mendekati Hosina yang sedang mematung.
  Hosina melotot.
  Hyuga berdecak sekali ,
“ apa ?”, komentarnya tanpa mempedulikan begitu banyak pasang mata yang sekarang sedang menatapnya dengan takjub, bingung, terpesona, iri, takut, atau yang lainnya.
“ kenapa kau…”
“ aku sudah mencoba menghubungimu, dan kau tak menjawab. Tentu saja, pasti kau tidak pernah membawa ponsel ketika sedang sekolah bukan ? ”
   Kedua sudut bibir Hosina terangkat dengan kaku.
      Hyuga memutar kedua bola matanya,
“ sudah kuduga ” ,
“ baiklah, dengarkan aku . setiap makan siang, kau harus selalu ke atap. Oke?  Jangan membuatku harus mengingatimu sampai dua kali. Ingat itu ”
“ baik ” , Hosina mengangguk sesaat sebelum sesosok yang membuat beberapa cewek dikelasnya hampir menganga itu berjalan menjauh memunggunginya, lalu pergi keluar kelas, dan menghilang entah kemana.
“ kesannya…”, Sayaka mulai membuka mulut.
“ misterius bukan ? ”
“ hah ?”, Hosina mengernyitkan alis sambil menoleh.
“ dia , misterius. Datang, hanya mengucapkan 2 kalimat panjang, Pergi. Misterius bukan ?. siapa dia?. Kenalanmu ? ”
“ hah? Ng… kalau dibilang kenal sih iya, tapi…”
“ benarkah?.  Siapa namanya?. Kapan-kapan kau harus kenalkan dia padaku.”, Sayaka tertawa pelan sambil membenarkan letak kacamatanya yang miring. 
“ miichan…”
“ apa? miichan ?! ”, sebuah suara yang tidak asing terdengar tak jauh disisi kiri Hosina. Yumi sedang duduk dimeja sambil meng-roll poninya yang tidak begitu panjang dengan roll rambut kecil berwarna hitam. Ia mengerutkan alisnya seakan-akan dia baru mendengar suatu hal yang sangat luar biasa.
“ kau bercanda? ”, serunya tak percaya sambil bangkit lalu berjalan pelan mendatangi sayaka.
“ wanita ini? Miichan?. Oh, ayolah.”, lanjutnya.
“ apa yang salah dengan nama itu?. Kedengarannya bagus bukan?”, Hosina memiringkan kepalanya bingung saat melihat kepercayaan diri sayaka lenyap ketika ia mulai menundukkan kepala. Seakan sesosok monster yang sangat keji sedang menghampirinya.
well, that’s a cute name. I know.”, Yumi membungkuk saat berdiri tepat disamping sayaka , mulutnya berbisik pelan di telinga sayaka.
“ tapi tidak untukmu”
“ apa maksudmu ?. tajam sekali omonganmu itu Yumi san ! ”, Hosina merasa mulai kesal, Sayaka terlihat seperti sedang menahan tangis. Dan ia tidak akan membiarkan teman barunya ini terluka karena apapun alasannya.
“ baiklah, Hosina chan ”, Yumi tersenyum sinis.
     ‘sopan sekali ia memanggilku Hosina chan’
“ karena kamu murid baru disini. Biar kuberi tahu satu hal ”
“ hah?”
     Yumi menyisir rambutnya yang pendek dengan jarinya,
“ aku hanya beritahu sekali saja. Apa kamu mau berteman dengan perempuan ini?. Asal kamu tahu, mungkin dari depan ia terlihat begitu polos. Tapi dalamnya, ia sangat busuk”
“ Yumi, hentikan!”, Sayaka mulai menangis sambil menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya yang terlihat begitu kurus.
“ kau tahu?. Dia sudah berapa kali ketahuan mencontek, mencuri, bolos, dan bahkan kabarnya baru-baru ini dia mencuri 300.000 yen dari dana iuran kelas…”
“tidak!”, Sayaka bangkit sambil mendobrak permukaan mejanya.
“ aku tidak mencuri apapun dari kalian!. Kamu saja yang selalu mengfitnahku !”, bentaknya.
“ oh ya ?. jika bukan kamu, siapa lagi?. Kamu satu-satunya orang yang jadi bendahara dikelas ini Sayaka chan. Sudah katakan saja terus terang. Kau itu memang dari keluarga yang cukup kaya, yahh… walaupun harus kubilang tidak lebih kaya dari kami semua. Anak pengusaha tisu toilet,  hahaha…"
“ Yumi! Sudah cukup! Kasihan miichan!”, Hosina bangkit saat melihat pundak sayaka mulai bergetar hebat.
“ apa?. Kau membelanya?. Hosina chan, lebih baik kamu tidak usah membelanya. Dia itu hanya anak dari keluarga broken ho…”
   -Plakk!-
       Ketahuilah, Itu bukan suara tamparan tangan, itu juga bukan suara sesuatu yang dihantam, tapi itu adalah suara dari gulungan kaos kaki berwarna hitam yang menampar wajah Yumi cukup keras. Semua orang menoleh keasal kaos kaki itu. Dan makluk cukup jangkung yang sangat mereka hormati, keren, yang sedang memegang tangkai sapu, serta dengan poni yang dijepit kebelakang, berjalan mendekat dengan wajah cengengesan tak berdosa. Kelihatannya ia baru saja bermain parodi kasti dalam kelas dengan beberapa anak cowok lainnya.
“ ups ”, sentaknya.
“ maaf”, katanya singkat dengan cengiran lebar dibibirnya.
“ Gori ! ”, Yumi setengah berteriak.
“ kau itu benar-benar… ! ”
“ Yumi, jangan marah-marah begitu dong. Akukan nggak sengaja, lagipula aku juga nggak bisa memprediksi kemana arah bola yang aku pukul. Itu sering terjadikan?”, Gori tersenyum sangat manis, siapapun yang melihatnya akan merasa dia itu seperti anak kecil berwajah polos yang tidak bisa dimarahi atau dibenci oleh siapapun.
    Wajah Yumi memerah,
“ Gori… ”
“ oh ayolah Yumi. Ini hari pertama Mikoto san belajar disini. Kita harus memberi kesan baik terhadapnya. Dan jangan katakan hal setega itu pada Sayaka san, nggak baik. Itu sangat melukai perasaanya. Lagipula, itu semua belum tentu benar bukan. Aku percaya kalau Yumi itu pasti orang terpelajar dalam segala hal. Termaksud tata bahasa yang sopan dan santun. Jadi kumohon, jangan katakana hal semenyakitkan itu lagi pada sayaka san. Jangan membuat kesan terpelajar kelas sepuluh satu ini jadi rusak. Yumi, ayolah.”
“ baiklah, aku mengerti… maaf…… ”.
  ...
     ‘Raja !!’
        Rasanya itulah yang ada dipikiran semua orang didalam ruangan kelas. Mereka menatap Gori seakan ia adalah raja yang paling berkuasa, yang tidak bisa dibantah, yang tidak bisa dikekang, dan yang tidak bisa dilawan. Hosinapun merasakan dadanya terasa hangat saat mendengar kata-kata bijak yang keluar dari mulut pria itu.
“ kalian tidak apa-apa?”, Tanya Gori sesaat setelah Yumi berjalan lemas menuju keluar ruangan kelas.
“ ya ”, jawab Hosina dan Sayaka bersamaan.
“ Sayaka san, Hosina san. Jangan dimasukkan kehati. Yumi memang selalu begitu. Omongannya pedas. Dan buat Sayaka san. Tenang saja, aku yakin kok kamu itu anak yang baik yang tidak akan pernah melakukan hal setega itu”
“ terimakasih sudah percaya padaku selama ini”, Sayaka tersenyum.
“ sama-sama, sebentar lagi istirahat makan siang selesai. Lebih baik siapkan buku pelajaran selanjutnya. ”, Gori mengingatkan.
“ Hah ? ” , Hosina melotot.
“ istirahat makan siang? Kapan?”
    Sayaka membulatkan bola matanya,
“sekaranglah, kapan lagi…”, jawabnya.
    Hosina berdecak sekali,
“ kenapa ga bilang dari tadi sih!”, keluhnya sebelum bangkit dari bangkunya dan berlari menuju luar kelas.
       Sayup-sayup dari belakang terdengar suara berteriak, “mau kemana Hosina Chaaan?”.
“ memangnya kau pikir kemana lagi”, kata hosina pada diri sendiri.
“ aish”, keluhnya sebelum menaiki anak tangga teratas.
    Dasar Laki-laki itu…


                                                                    "Sayaka Chan"

Fie Chan Here~

Fie Chan Here~
Fie always here (reading a manga), please contact me whenever wou want. keyy ? :D