How Much People Look my Blog :-3

'bout me :3

Nyu :3

"fiechan", so my friends call fie. Fie was female, age 16 y.o this October 17y.o, 2nd senior high school class, I like writing , drawing, and singing. Fie always think everyone is fie's friend. either is from Real or virtual ... oo this is a special blog about my works/story or my thoughts... hope you colud feel comfortable : D
En don't forget to leave commont, eh xD comment i mean

arigato Minna ~ (/^0^)/
Ai Lope Yuu :*

Minggu, 24 April 2011

Bloods behind ‘Gomaisme’ ( Part V )


“ Hello Hosina chan ♥…”.
      Hosina meringis pelan, dirabanya pistol Hunter yang tersembunyi dibalik jaketnya, lalu memegangnya erat. Peluh menetes di dahinya. Nafasnya naik turun menatap sesosok perempuat cantik dengan taring menjulang keluar dari bibirnya yang mungil tak jauh didepannya. Ia memegang Pistol Hunter itu erat, suara Hyuga terngiang-ngiang ditelinganya.
  Jangan membuat gerakan seakan kau punya Pistol itu pada mereka. Gunakan pistol itu jika kau benar-benar terdesak’.
    Hosina mengigit bibirnya , ‘sekarang ini bisa dibilang terdesak kan Hyuga? Benar kan?’, pikirnya pada diri sendiri. Matanya terlihat takut namun tetap waspada melihat gadis itu didepannya, atau lebih tepatnya –Gomaisme itu– .
“ siapa kamu sebenarnya?”, tanya Hosina lantang, bahkan hampir terdengar seperti sebuah bentakan.
“ aku?”, gadis cantik itu menatap jari-jari kukunya yang terlihat begitu terawat, ditiupnya kuku-kuku itu dengan pelan.
“ jahatnya kamu, tidak mengenal siapa aku”, orang itu mengangkat wajahnya, Hosina baru menyadari bahwa mata birunya dan rambutnya yang merah itu membuatnya terlihat menyeramkan.
“ akukan teman sekelasmu”, lanjutnya dengan suara sedikit manja sambil berjalan perlahan mendekati Hosina.
     Hosina sendiri semakin menggenggam erat pistol tersembunyi ditangannya, sambil mengumpat kasar dalam hati. Bisa-bisanya ia tidak mengingat gadis ini, gadis yang kala sebelum kejadian itu ia lihat menjadi pusat diantara gadis-gadis lain yang tengah asyik merias wajah. Hosina mengata-ngatai dirinya sendiri, betapa bodohnya ia baru mengingatnya sekarang.
“ apa maumu !?”, tanya Hosina dengan nada sedikit bergetar, namun ia menutupi itu agar terlihat kuat dan tidak sedang merasa ketakutan.
“ mauku?”, gadis itu menghentikan langkahnya.
      Ia tertawa pelan,
kamu”, lanjutnya singkat dan membuat denyut nadi Hosina meningkat.
ya kamu”, gadis itu dengan kecepatan diluar batas manusia pada umumnya sudah berada dihadapan Hosina, memojokkannya kedinding ruangan. Hosina hendak mengeluarkan pistolnya, namun itu semua gagal. Gadis itu sudah menarik tangannya dan mencengkramnya ditembok, membuat Hosina sedikit merintih. ‘tidak…’
“ atau bisa kubilang…”, gadis itu membenamkan kepalanya dirambut hosina, dijilatnya perlahan leher Hosina, taring-taringnya yang menggesek kulit Hosina terasa hampir merobeknya. “darahmu…”.
   Hosina meringis, ia ingin menangis, namun ketakutan membuatnya hanya dapat diam tanpa melakukan apapun.
            Ia serasa ingin berteriak sekencang-kencangnya sebelum gadis itu melepas cengkramannya, lalu berjalan menjauh membelakanginya. Diambilnya sebuah dasi yang tergeletak dilantai dengan satu tangannya. Hosina memutar bola matanya dua kali, ia bahkan tidak sadar kapan ia menjatuhkan dasi dari Hyuga itu. Namun ia sadar seberapa buruk dampak yang bisa ditimbulkan karenanya. Ketika ia menoleh, taring itu sudah lenyap dari wajahnya. Ia telah kembali menjadi gadis cantik seperti yang pertama kali ia lihat.
“ dasi ini…”, gadis itu mendekatkan hidungnya pada dasi itu, dan mendengusnya seakan dia adalah seekor serigala atau anjing pencari jejak milik kepolisian.
“ milik kaihoto hyuga bukan ? ”, katanya dengan nada bertanya, ia menatap Hosina sambil mengangkat sebelah alis matanya.
       Hosina terdiam, namun ia berpikir jika tak ada gunanya ia diam. Gadis ini pasti benar-benar mengerti dengan istilah ‘bau’ yang pernah Hyuga katakan dengannya.
“ ya.”, jawab Hosina singkat, tanpa nada, tanpa sebuah anggukan.
“ sudah kuduga”, gadis itu menaruh dasi itu kesalah satu meja disebelahnya. Meja yang berisi dengan alat-alat percobaan, tabung-tabung kimia kecil maupun yang besar, dan sebuah kompor kecil yang biasa digunakan untuk melarutkan berbagai macam larutan tertentu yang sering ia lihat di detiap acara ilmiah.
“ tadinya aku pikir dia ada disini, baunya benar-benar tercium mengelilingi ruangan”, kata gadis itu sambil bertumpu pada meja disebelahnya, tangannya menekan dasi Hyuga dengan kuat.
    Tadinya
         Hosina menelan ludahnya sekali, lalu tangannya dengan berusaha sebisa mungkin tidak membuat gerakan yang mencurigakan saat jari-jari kecilnya meraba punggung. Berpura-pura gatal, lalu dengan tak begitu erat memegang gagang pistolnya sekali. Sangat pelan, agar kain tipis jaketnya tidak tertarik menekan dan memperlihatkan sebuah benda keras yang menonjol dibaliknya. Jangan sampai,         
“ bau yang wangi, sewangi minyak wangi beraroma jeruk dari salah satu koleksi parfum bermerek mahal milikku”, lanjut gadis itu sambil memejamkan mata.
     Hosina mengernyit pelan, namun tatapannya dibuat seolah ia sama sekali tidak takut. Ia ingin sekali mengeluarkan pistol tersembunyi dibelakang punggungnya, menarik pelatuknya dengan cepat, membuat sebuah suara letusan yang menggema, lalu beriringan dengan darah yang memuncrat dari dahi gadis itu. Tidak. Dia tidak akan setega itu. Mungkin darah itu akan memuncrat diperut gadis itu, atau persis dijantungnya. Namun ia pikir sekarang bukan saatnya, sekarang ia harus mencoba tenang namun tetap waspada. Gadis dihadapannya ini bisa membunuhnya kapan saja, kapanpun yang ia mau, dan kapanpun yang  ia suka. Tapi sekarang belum saatnya ia harus membunuh orang ini, bukan, iblis ini.
“ya, tadinya aku benar-benar berfikir seperti itu, dia ada disalah satu sudut tempat ini, tak terlihat. Mungkin disana”,  gadis itu menunjuk sudut paling depan sisi kanan ruangan yang tertutup sebuah lemari yang cukup besar. “atau disana”, jari telunjuknya bergerak kesamping meja guru, bukan, belakangnya. Di belakang meja itu terdapat beberapa tumpukan kardus kosong yang sama sekali tidak telihat berdebu. “atau bisa jadi disana”, katanya lagi. Kali ini Hosina sedikit mengerutkan alisnya tidak mengerti, ia menunjuk kearah atap-atap ruangan, bukan, sudut-sudut atap ruangan. “ ya, bisa saja sih”, ia mengangkat kedua bahunya, lalu terkekeh pelan. Kekehan yang terasa berbeda.
“ tapi ternyata bau itu berasal dari bawah kakiku, tepatnya, sesuatu yang kuinjak ”, gadis cantik itu mengambil dasi yang tadi ia taruh diatas meja, kemudian memegang dasi itu dengan dua jari, seakan dasi itu adalah seekor tikus mati, atau kecoa, atau binatang menjijikan lainnya. “ini”, sahutnya sambil tetap tertawa pelan.
     Hosina menyibakan poninya yang hampir menutupi mata, lalu entah mengapa keberaniannya muncul saat dirinya mulai berbicara dengan sedikit serak.
“ aku tidak mengerti apa maumu, membunuhku? Menusuk leherku dengan taringmu? Meminum darahku sampai habis lalu menjilat bibirmu sambil mengomentari tentang darahku padaku yang sudah tak bernyawa?”, tanyanya tanpa ragu-ragu. Namun tetap saja badannya sedikit bergetar, sehingga ia cukup yakin wanita didepannya ini takkan menyadari getaran itu.
   Gadis itu tersenyum,
“ perkenalkan namaku Misami Tsuyu ”, katanya seakan ia baru saja diajak berkenalan dan ditanyai siapa nama lengkapnya. Ia tersenyum simpul, bola matanya yang biru pekat menatap bola mata Hosina yang juga berwarna biru. Namun warna bola mata Hosina terlihat lebih lembut dan tidak terlalu mencolok. Sebenarnya, sama sekali tidak terlihat mencolok.
“ kau tahu Hosina?”, gadis itu berjalan pelan menuju meja guru, lalu dengan santai duduk diatas meja tersebut, menaruh kedua tangannya diatas pahanya, roknya yang pendek tertarik keatas membuatnya makin terlihat seksi, dan tetap terlihat menakutkan.
“ aku mungkin bisa saja membunuhmu seperti yang tadi kau katakan”, katanya sambil tersenyum lebar seakan perkataannya itu cukup lucu untuk didengar.
    Otot tangan Hosina menegang, jarinya yang tersembunyi dibelakang punggungnya mulai mengeratkan pegangannya pada pistol Hunter dibelakangnya. Ia mulai menarik nafas panjang.
“ mungkin, ah bukan, pasti.”, lanjutnya.
     Tubuh hosina menegang, debarang  jantungnya mengencang. Semakin erat ia memegang gagang pistol yang tersembunyi dibelakang punggungnya.
“ tapi tidak sekarang”.
    Apa?
“ ya, tidak sekarang”, gadis cantik yang mengaku bernama Misami itu menghela nafas panjang dan terdengar seakan ia enggan mengatakan hal itu, “belum saatnya”.
        Misami bangun dari posisi duduknya, ia menepuk-nepuk bokongnya seakan ada debu, namun tidak terlihat sebutir debupun berterbangan dari roknya yang mulai terlihat kusut. Kemudian ia tertawa pelan menatap Hosina.
“ sudah, jangan terlalu lama menggenggam erat senjata itu. Tanganmu bisa lecet-lecet”, katanya. Membuat Hosina hampir terjengkal,
    Bagaimana dia bisa tahu?.
“ pistol itu hanya berisi enam atau tujuh peluru. Sebaiknya kau simpan baik-baik, karena kau tahu, ya, diluar sana banyak sekali gomaisme yang ingin membunuhmu”, katanya dan alhasil rahang Hosina mulai mengeras. “untuk saat ini kau aman, mereka tidak akan bisa keluar dari kelas selama jam pelajaran”, katanya. Kemudian ia mengambarkan tanda kutip dengan kedua jarinya diudara, “kecuali aku”.
“ ambil ini.”, Misami melempar dasi milik Hyuga, tangan Hosina refleks terangkat untuk menangkapnya sebelum sebuah dentingan keras terdengar jelas ditelinga kanannya.
   Tidak, pistol itu terjatuh!.
       Hosina melirik kearah pistol hunter berukuran standart yang terjatuh kelantai yang putih dan sedikit berembun karena udara dingin yang dikeluarkan oleh 2 buah AC, berputar-putar beberapa kali, sebelum menabrak dinding dan berhenti bergerak. Hosina segera berjongkok untuk mengambil pistol itu, lalu, saat pistol hunter itu sudah ia pegang dengan erat dan ia menoleh untuk melihat reaksi gadis cantik itu, gadis itu tak ada disana, tepatnya perempuan itu sudah tidak ada diruangan itu. Hosina memutar kedua bola matanya menyapu setiap sudut ruangan, tidak ada tanda-tanda kehidupan disana, selain dia.
    Cepat sekali ia menghilang !.
    Sial! ,
    Oh tidak, bukannya itu justru bagus?
 Hosina berbicara sendiri didalam hatinya, posisinya masih sama saat ia meraih pistol yang terjatuh itu. Bahkan pistol itu masih melayang diatas lantai dan belum sempat menyentuh pinggangnya sedikitpun.
    Pintu kembali berdenyit dan Hosina hampir melompat kebelakang, mengangkat pistolnya, dan menekan pelatuknya. Dan untung semua itu belum sempat ia lakukan ketika melihat seorang berbadan tegap dan jangkung berdiri dihadapannya, didepan pintu yang mulai bergerak menutup rapat.
   Hyuga.
       Laki-laki itu menatap Hosina dengan bola matanya yang tajam dan berwarna semerah darah, melihat senapan ditangannya, lalu melihat matanya lagi. Dan seakan tanpa rasa bersalah sedikitpun ia mulai bertanya.
 “apa aku melewatkan sesuatu?”.
      Hosina menggigit bibir bawahnya, dan mengernyitkan alisnya. Dengan tatapan sedikit tajam pada Hyuga  (dan sungguh, entah sejak kapan ia mulai berani melakukannya) ia mengumpat pelan.

 ^w^   ^w^   ^w^

            Hyuga duduk di satu-satunya kursi yang menghadap kekursi-kursi lainnya. Sebuah meja segi empat yang cukup besar dan terlihat mewah. Berukirkan corak-corak salju berwarna biru dan pahatan seekor kelinci yang sedang mengadahkan kepalanya keatas dari dalam sebuah keranjang kecil berwarna emas, bukan, itu pasti emas asli. Dilihat dari manapun itu pasti emas asli. Kursi-kursinya seragam dengan pahatan bertuliskan ‘Rabbit’ diatasnya. Salah satu benda yang menurutnya mahal diantara semua benda yang ada diruangan luas dan mewah ini. Ruang tamu rumah Hyuga, ya. Dia sadar sejak awal jika Hyuga pasti bukan orang biasa, ia pasti orang kaya yang terpandang. Mengingat Tanaka yang sampai tidak bisa berfikir dua kali saat mendengar ia mungkin akan berurusan dengan salah satu dari kedua orang tuanya. Hati Hosina sedikit tertusuk saat ia memikirkan orang tuanya, ayahnya, ayahnya yang mungkin masih terbujur kaku dan mulai membusuk didalam ruang tamunya.
   Oh tidak, aku hampir melupakanya!
“ Ayahku…”, Hosina membuka pembicaraan saat sebuah pelayan yang mungkin sama sekali tidak menyadari jika tuannya itu bukan manusia biasa menaruh nampan berisi dua buah mug mungil berukir sebuah gambar burung yang sedang terbang di meja, namun tidak dengan tekonya. Ia terlihat kembali kebelakang dan tak lama terdengar suara yang sedikit bising, mungkin itu suara blender atau semacamnya.
“aku harus menemuinya… bukan”, gadis itu menghentikan pembicaraanya selama beberapa detik.
   Ia menggigit bibirnya pelan,
“ menemui jenazahnya…”, katanya sambil berusaha menahan kantung air matanya yang sudah mulai menebal.
“ mungkin belum ada yang menemukannya. Oh, bukan. Seharusnya akulah yang menemukannya”, lanjutnya dengan suara yang sedikit serak.
“ ayahmu sudah ditangani”, kata Hyuga membuat Hosina hampir melotot kepadanya.
“ maksudmu?”, tanya Hosina.
“ dia sudah ditangani oleh salah satu pengawal kepercayaanku. Tinggal menunggu keputusanmu apakah ia harus dikremasi terlebih dahulu atau langsung dikubur.  Dan sekarang ayahmu berada dalam suatu kamar yang tidak akan diketahui siapapun… Belum saatnya publik tau apa yang telah terjadi, atau mereka akan mengira kau sendirilah yang telah membunuh ayahmu. Mungkin…”, jelasnya saat pelayan wanita berpakaian maid berwarna hitam kembali masuk, kali ini dengan sebuah teko yang berdiri tegak dinampannya. Ditaruhnya teko yang cukup besar itu diatas meja, dihadapan kami. Asap dari lubang teko yang hangat sedikit mengepul diudara, wanginya yang harum membuat siapapun pasti penasaran dengan apa yang ada didalamnya.
“ silahkan tuan,  Milk Fruit Coffe sesuai dengan pesanan anda”, katanya sambil menaruh nampannya didepan perut. Ia tersenyum sedikit genit kepada Hyuga, seakan pelayan yang kira-kira umurnya tidak jauh diatas Hyuga itu akan menarik perhatiannya.
    Dia hanya dapat berharap.
“ Kopi panas dicampur dengan susu vanilla lotte diatasnya, dengan sedikit sari air buah yang masih segar, serta tambahan sedikit gula putih”, katanya seakan ia tahu pasti semua yang diminta Hyuga padanya, suaranya sedikit menekan saat ia berkata. “dan tanpa ada Sirup Moza setetespun”.
        Hyuga hanya mengangguk seakan berterimakasih. Sikapnya yang sangat acuh itu membuat pelayan itu terdengar sedikit mendengus kesal. Lalu ia berjalan pergi menuju… entahlah, mungkin dapur?.
“ minumlah”, katanya pada Hosina.
     Dan Hosina  yang merasa kerongkongannya sangat kering segera menegakkan mug yang ditaruh dihadapannya, lalu mengangkat gagang teko yang terasa begitu hangat ditangan. Memiringkannya perlahan hingga sebuah aliran hangat berwarna hitam cerah keluar dari dalam lubang teko. Asapnya yang menggumpal diudara membuat Hosina hampir terlena untuk menjilat bibirnya.
      Wangi sekali.
“ katakan padaku, jika kamu juga meminum ini”, kata Hosina dambil menaruh kembali teko itu ketempat asalnya, meniup-niup permukaan air berwarna hitam yang kini sudah berada didalam mug untuknya itu, menghilangkan kemungkinan kemungkinan air tersebut masih panas dan dapat membakar lidahnya.
   Hyuga menggeleng sangat pelan,
“ tidak akan”, katanya seakan dengan itu semua pertanyaan menjadi jelas.
“ tanpa Sirup Moza? Apa rasanya?”, lanjutnya sambil menghela nafas dalam.
Sirup Moza? Apa itu? Semacam sirup mahal berkelas bintang lima?”, tanya Hosina lagi. Seakan ketakutannya pada Hyuga sudah menghilang. Entah kenapa, ia selalu merasa ayahnya berada disisinya. Berbisik ditelinganya, mengatakan ia tidak boleh cengeng, tidak boleh lemah, dan harus selalu tegar serta kuat. Itulah yang sedang ia coba praktekan belakangan ini.
“ hanya kiasan”, jawab Hyuga sambil menatap kearah Hosina yang sedang mengangkat mugnya lalu menyeruput sedikit air dari dalamnya. Wajah Hosina yang tersenyum lebar setelah mencicipi membuatnya berpikir mungkin rasanya sangat enak, bagi manusia pada umumnya, dan yang pasti bukan dirinya.
“ katakan padaku kau tak akan muntah mendengarnya”, ia bergumam.
“ Sebenarnya sirup itu berupa… darah… manusia, yang menyumbangkan darah mereka dan berfikir mungkin darah itu akan digunakan untuk orang-orang yang sedang sekarat diluar sana”, katanya lagi, dan ada pemelanan nada pada saat ia mengucapkan kata ‘darah’, seakan pembantu genitnya sedang bersembunyi dibalik tembok dan menguping pembicaraan mereka.
    Hosina terbatuk pelan, mugnya ia taruh kembali diatas meja.
“ aku hampir muntah”, ucapnya setengah menyindir.
“ aku tahu itu”, Hyuga menaruh kedua telapak tangannya dibawah dagu, menumpu kepalanya diatas meja . Baju seragamnya yang sudah terlihat begitu kusut tidak seimbang dengan wajahnya yang cukup mempesona, dan tentu saja, misterius.
“ jadi ”, Hyuga bergumam sambil menunggu Hosina menyeruput tetesan terakhirnya, kelihatannya gadis itu sangat tidak ingin di ganggu saat ia sedang menikmati minumannya. Poninya dikesampingkan kekanan dan dijepit, dan rambutnya masih dibiarkan tergerai menutupi pundaknya.
“ apa yang mau kau bicarakan tentang gadis yang katamu kau temui didalam Laboratorium itu?”, tanya Hyuga, dan Hosina sedikit merinding. Ditaruhnya mug yang telah kosong dipermukaan meja, lalu ia mengerutkan alisnya pelan dengan mata yang seolah sedang mengingat-ingat.
“ gadis itu…”, Hosina menggigit bibirnya hingga hampir terasa perih.
“ dia mengaku namanya Misami Tsuyu”, lanjutnya sambil menatap mata Hyuga yang saat itu juga sedang menatapnya, tanpa berkedip. “ dia salah satu teman sekelas kita”.
     Hosina berdecak pelan,
“ sial, bahkan aku merasa tidak pernah bertemu dengannya sama sekali ketika dia masuk kedalam ruang Lab”, lanjutnya.
“ ya, aku tahu dia”, Hyuga mengambil mug kecilnya, lalu mendeting-detingkannya pada sisi meja, seakan ia sedang dilanda kebosanan.
“ dia salah satu gomaisme terpandang, ayahnya cukup dekat dengan ayahku…”, lanjutnya lalu meletakkan kembali mug yang ia pegang dimeja.
“ aku sering berpikir, ayah dan ibumu seperti apa?”, Hosina memasang wajah penasaran, namun kata-katanya ditarik lagi saat Hyuga menyipitkan mata padanya. “tidak usah dijawab”.
“ kau tak akan pernah mau mengenal mereka”, kata Hyuga.
“ apakah mereka  Gomaisme juga?”, tanya Hosina lagi.
“ ya”, jawabnya singkat. Kemudian mukanya sedikit memucat, bukan, menampakkan ekpresi sedih bercampur marah. Seolah dia enggan menghadapi kenyataan bahwa ia salah satu dari gomaisme.
         Sebuah pintu besar disisi kanan Hosina terbuka perlahan, tidak ada sama sekali  suara berdenyit pelan seperti rumah Hosina atau ruang Laboratorium disekolahnya. Seorang gadis kecil yang terlihat begitu manis berdiri diantara pintu yang terbuka, salah satu bagian dari rambutnya yang ikal dikuncir sedikit keatas menggunakan jepitan rambut berbentuk bulat berwarna hijau yang manis. Ia menggunakan sebuah gaun santai yang indah berwarna hijau, dengan renda-renda berwarna putih dibagian kerah, pergelangan tangan, dan bagian bawahnya. Sebuah pita berwarna putih terikat erat diantara dada kecilnya yang mulai terlihat, dan ransel berwarna putih menggantung dipunggungnya. Tangannya sedang memegang erat boneka yang pernah Hosina liat saat pertamakali bertemu. Hosina menyimpulkan, bawa kemanapun anak itu pergi, boneka itu selalu berada bersamanya. Wajahnya yang sedang tersenyum manis memudar saat matanya bertemu dengan mata Hosina.
well”, katanya seakan ia sangat fasih berbahasa inggris.
“ ternyata kita kedatangan tamu lagi hari ini”, lanjutnya dengan tatapan sinis. Chisako tersenyum ketika ia melihat Hyuga, ia berlari-lari kecil  menuju kakaknya itu. Rambutnya yang hitam kecoklatan terlihat melambai pelan saat ia berlari-lari kecil kearah Hyuga, dan memeluknya manja. “ Onii san~”.
“ Chisako ga mau perempuan ini menginap lagi”, pintanya manja sambil melirik kearah Hosina. Mengingat semalam gadis didepannya itu tertidur lelap dikamar kesayanganya, dan tadi pagi ditemuinya seorang pelayan sedang memegang baju seragamnya.
     Chisako berdecak dalam hati,
“ Onii san terlalu baik padanya”, katanya menghembuskan aura ketidakikhlasan dan kecemburuan  yang membuat bulu kuduk Hosina sedikit berdiri.
“ jangan bicara begitu, Chisako”, Hyuga menatap mata adiknya dengan setengah alis terangkat, “semalamkan aku sudah membiarkanmu tidur dikamarku”, lanjutnya.
       Chisako mengelus pipinya pelan, dan Hosina baru menyadari kalau disana sudah tidak ada bekas cakaran Hyuga tadi malam. Pipinya sudah terlihat putih, bersih, mulus dan tanpa noda sedikitpun yang mengganggu. Bahkan tidak ada satu bekaspun menempel diwajahnya. Ternyata gomaisme sangat cepat sembuh seberapa parahpun lukanya, atau… mereka memang tidak akan pernah mati?.
“ demi perempuan ini Onii-san mencakar wajah Chisako”, katanya lagi.
“ aku tahu”, Hyuga menepuk tangan adiknya sekali sebelum berkata, “ sudah sana! kembali kekamarmu, dan ganti pakaianmu! ”. bentaknya pelan.
   Chisako cemberut,
“ tega sekali, onii chan membentaku ! ”, omelnya sambil menatap sinis pada Hosina, lalu berlari cepat pergi dari ruangan itu. Diikuti oleh tatapan mata Hosina dan Hyuga.
“ dia marah padaku”, keluh Hosina pelan saat sosok itu menghilang.
“ biarkan saja”, Hyuga menghela nafas panjang sebelum menatap Hosina lagi “jadi, ayo kita lanjutkan pembicaraan tadi”.
“ baiklah”, kata Hosina sambil mengangguk, ia mengangkat mug kosongnya lalu menaikan sebelah alisnya pada Hyuga, dalam arti ia ingin meminta segelas air Milk Fruit Coffe lagi. Setelah Hyuga mengangguk, sambil tersenyum Hosina menaruh mugnya dimeja lalu mengambil teko yang masih terasa hangat itu.
“ gadis itu… maksudku, Misami.”, Hosina menuangkan minuman hangat dari dalam teko itu lagi kedalam mug, asap-asap hangat mulai muncul seakan membelai pipinya pelan. Aroma wangi mulai merayap kedalam lubang hidungnya.
“ dia bahkan tahu jika aku menyembunyikan sebuah pistol Hunter”, lanjutnya sambil mulai meniup-niup permukaan air di mug lagi.
“ ya, yang kutahu gadis itu memang memiliki kelebihan yang sama denganku”, kata Hyuga membuat ujung permukaan mug yang hampir menempel dibibir Hosina berhenti, dan mug itu ditaruhnya lagi keatas meja.
“ maksudmu?”, Hosina mengernyitkan alisnya.
“ ya, apa kau pernah mendengar suara-suara yang menyuruhmu pergi dari kelas saat pertama kali kau masuk kedalam kelas?”, Hyuga kembali bertanya.
     Hosina memutar bola matanya beberapa kali ,
   Ternyata itu suara Hyuga…
“ yap, kupikir aku ingat, suara itu menyuruhku segera pergi kan?”, tanya Hosina.
“ ya…”, jawab Hyuga sangat singkat, ia terdiam sebentar untuk membiarkan Hosina menyeruput minuman hangatnya terlebih dulu.
“ jadi maksudmu, gadis itu bisa membaca pikiranku”, Hosina mengerutkan alisnya lagi saat cairan hangat mulai terasa dikerongkongannya.
“ ya…”, jawab Hyuga dengan kata-kata yang hanya diulang.
“ seperti pikiranku sekarang ini?”.
    Hyuga menggeleng,
“ tidak, hanya untuk jarak jauh tidak bisa… Hanya bisa dalam satu ruangan, satu udara, dan satu karbondioksida”, jelasnya. Ia menyenderkan punggungnya kebelakang, lalu menutup matanya, dan berfikir. Bagaimana ia harus menyelesaikan masalah ini, melindungi gadis dihadapannya ini, dan menepati ‘janji lamanya’ itu.
       Pandangan mata Hosina belum lepas dari Hyuga. Dipegangnya lagi mugnya, lalu menyeruput perlahan-lahan. Lelaki itu semakin dilihat semakin mempesona, matanya sangat menyeramkan tapi memiliki misteri tersendiri. Belum lagi bibirnya yang hampir tidak pernah ia lihat tersenyum, otot-otot dan tulang-tulangnya yang kokoh membuat seragamnya membentuk bidang. Dan postur tubuhnya yang mirip sekali… mirip sekali dengan salah satu tokoh komik yang pernah ia baca, Shinichi Kudo kalau tidak salah namanya. Sangat sempurna dan pispek.
   Hosinya tersenyum dalam hati,
 ‘Aku mungkin bisa jatuh cinta padanya, tapi tidak akan karena dia juga salah satu Gomaisme’
“ aku juga tidak mengharapkan kau bisa jatuh cinta padaku.”, perkataan Hyuga itu membuat Hosina hampir menyemprotkan air dimulutnya kewajah Hyuga.
   Apa?!
“ dan hanya karena aku ini Gomaisme”, lanjut Hyuga dengan mata yang tetap terpejam, tangannya sudah dilengkungkan kebelakang menumpu kepalanya dari belakang, tanpa tersenyum sedikitpun.
“ a. apa maksudmu?”, Wajah Hosina memanas, kali ini bukan disebabkan karena uap hangat dari mug didepan wajahnya, namun karena malu. Ia benar-benar lupa kalau Hyuga bisa membaca atau mendengar pikiran orang, betapa bodohnya dia.
“ jangan pura-pura tak tahu”, Hyuga membuka matanya, bola matanya terlihat sedikit mengkilat karena terkena cahaya lampu.
“ kau mengucapkan itu dalam hati, sesaat setelah kau memuji-muji penampilanku”.
“ a. aku”, Hosina mulai terlihat gugup dan kelabakkan, namun ia merasa sudah tidak bisa membantah apapun lagi. Iapun menghela nafas panjang.
aku lupa kalau kau bisa mendengar isi pikiran orang”, akunya.
“ maaf aku telah lancang, anggap saja aku tak pernah mengatakannya dan lupakanlah”, Hosina menaruh kembali mugnya untuk yang kesekian kali. Padahal didalamnya masih ada setengah gelas minuman lagi.
   Hyuga mengangkat sebelah alisnya,
“ untuk beberapa bagian, akan tetap kuingat”, lanjutnya, membuat Hosina makin tak mengerti dan malu. Namun sebelum gadis itu membuka bibir mungilnya untuk berbicara, Hyuga memotong, ia bangkit dari kursinya dan berjalan-jalan pelan.
“ harus kujelaskan hal ini padamu”, katanya tanpa menoleh pada Hosina, namun gadis itu tetap memperhatikannya.
“ kau orang terpilih, aku pernah mengatakan hal itu padamu sebelumnya. Tapi, apa kamu sudah paham apa maksud dari orang terpilih?”, tanya Hyuga. Dan kali ini ia mulai menoleh dan menatap mata Hosina.
      Gadis itu menggeleng,
“ mungkin untuk makanan? Mereka lapar?”, tebaknya.
“ mereka dapat memakan apapun, mereka bisa membunuh manusia kapan saja. Ada begitu banyak manusia didunia ini. Mereka dapat membunuh semuanya setiap hari”, jelas Hyuga. Ia membuang wajahnya lagi dan berjalan mengelilingi lukisan-lukisan abstrak didinding ruangan yang sejak ia kecil sudah tergantung disana.
“ dan mereka melakukannya?”, tanya Hosina.
“ tidak”, jawab Hyuga cepat sambil menatap salah satu lukisan yang lebih baik dari pada lukisan tak jelas lainnya. Samar-samar, ia dapat melihat seekor kuda yang sedang berlari kencang diantara warna-warna yang bercampur.
“ karena kami, para Gomaisme. Memiliki larangan keras untuk membunuh manusia. Kami hanya diperbolehkan untuk meminum pil-pil darah, Sirup dari darah binatang atau dari darah manusia yang secara tak sadar menyumbangkannya, atau dari darah seseorang yang baru saja mati”, terlihat sedikit keragu-raguan dimata Hyuga sebelum ia berkata, “seperti ayahmu”.
“ ayahku?”, bola mata Hosina melebar, ia kembali merasakan jantungnya seperti tertusuk sesuatu yang tajam, namun ia berusaha untuk tegar dan tidak akan menangis dengan ucapan-ucapan Hyuga selanjutnya.
“ ya, ayahmu”, Hyuga menoleh kearah Hosina, lama.
“ Ayahmu, sepertinya ia dibunuh terlebih dahulu, mungkin dengan semacam Pukulan dikepala atau…”, Hyuga memotong pembicaraannya saat melihat raut tegang bercampur sedih diwajah Hosina. Iapun berdehem pelan,
“ ya, anggap saja kau sudah mengerti”, lanjutnya.
     Hosina terdiam, ia lalu mengingat sesuatu dan mulai membuka mulut. Namun pandangannya beralih pada air hangat di mugnya, dihadapannya.
“ apa kau tahu, ya… aku yakin kau tahu tentang ini…”, ia terdiam sebentar.
“ tadi saat aku keruang Laboratorium, aku memelihat beberapa tabung berisi darah darah…”, Hosina melirik cepat kearah Hyuga yang juga sedang menatapnya, menunggu kata-kata yang akan ia keluarkan selanjutnya.
“ apa itu benar-benar darah?”, tanyanya.
“ ya…”, jawab Hyuga datar.
“ apa kalian gila?. Maksudku, itukan ruangan umum. Pasti manusia biasa akan menyadarinya… seperti… aku?”, lanjutnya, ada penaikan nada suara saat ia mengatakan kata-kata itu.
“ tidak”, Hyuga menggeleng pelan, ia berjalan menuju dinding, kemudian bersandar. Tangannya dilipat diperut. Seragamnya yang bergesekkan dengan dinding membuatnya terlihat semakin kusut.
“ mereka tidak akan sadar, karena kami telah menyetingnya seperti itu. Manusia akan berfikir jika itu hanya larutan biasa, dan tidak akan pernah memakainya.
“ lalu, kenapa aku menyadarinya?”, tanya Hosina lagi, ia mengernyit.
“ karena gadis itu memang menginginkanya”, jawab Hyuga cepat, ia mendongakkan kepala keatap ruangan. Sinar menyilaukan dari lampu yang terlihat begitu mewah membuatnya sedikit menyipitkan mata.
“ ada yang ingin kutanyakan lagi”, Hosina mengangkat tangannya seakan Hyuga adalah seorang guru. Pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalanya membuat dia merasa tidak begitu tertarik dengan minuman yang masih tersisa di mugnya.
“ tanyakan saja. Kau harus tahu semuanya”, Hyuga menoleh kearah Hosina lagi.
“ baiklah, yang pertama. Kenapa aku bisa menjadi orang terpilih? Apa yang dimaksud dengan orang terpilih? Dan kenapa tidak ada manusia lain yang masuk kekelas itu selain aku? Apa itu semua memang disengaja? Tadi kamu belum selesai menjelaskannya padaku.”, tanya Hosina panjang lebar.
     Hyuga menyipitkan matanya,
“ apa-apaan itu?. Pertanyaan pertama, tapi didalamnya ada empat pertanyaan sekaligus”, katanya sambil berdecak.
“ aku ingin tahu”, Hosina menatap Hyuga dengan tatapan berharap, meminta.
     Hyuga menghela nafas pendek,
“ baiklah… begini, seperti yang kubilang sebelumnya. Kami para gomaisme tidak boleh membunuh manusia atau langsung meminum darah mereka yang masih segar. Untuk memenuhi kebutuhan kami, kami diperbolehkan meminum darah binatang, pil-pil, dan lainya, tadi sudah kukatakan padamu”, Hyuga terdiam beberapa detik untuk mengambil nafas.
“ jadi, Hanya ada satu kesempatan dalam 5 tahun sekali. Hanya satu manusia yang akan dipertemukan dengan kami. Kami yang belajar di sekolah bercampur manusia. Dan hanya ada satu kesempatan. Satu manusia, untuk satu kelas. Gomaisme yang sudah diberi kesempatan, gagal berhasilnya, ia tidak akan mendapatkan kesempatan lagi saat ia sudah naik kelas. Dimulai dari kelas 1 SMA , gomaisme yang sudah naik kekelas 2 akan pindah kesekolah khusus untuk kami, sekolah yang tidak akan diketahui oleh siapapun kecuali kami. Karena itu, kamulah yang terpilih. Mungkin salah satu dari senior atau pimpinan kami menaruh namamu dikelas kami, secara tidak langsung. Karena itu kamu harus berhati-hari, mereka tidak akan melewatkan kesempatan emas ini”, jelasnya.
     Hosina memijat-mijat pelipisnya karena merasa tidak enak, ia mengambil mugnya dan meminum air yang masih terasa hangat didalamnya, namun tidak sehangat sebelumnya sampai habis. Ia mengambil nafas untuk menenangkan diri.
“ Lalu pertanyaan kedua, mereka semua tahu rumahmu bukan?. Mereka bisa saja datang kesini dan membunuhku”, ia kemudian menoleh lagi pada Hyuga.
“ tidak akan, mereka tidak akan berani membunuhmu jika ada aku disini, apalagi rumah ini milik ayahku. Tidak akan pernah. Ini adalah salah satu tempat teraman yang tidak akan pernah didatangi oleh mereka”, jelasnya.
“ maaf sebelumnya jika aku bertanya ini, tapi bagaimana dengan chisako?. Atau orang tuamu? Mereka juga gomaisme bukan? Chisako bahkan pernah ingin membunuhku”, tanya Hosina lagi dengan wajah ragu-ragu, takut Hyuga akan tersindir dengan pertanyaannya, namun ternyata tidak. Lelakiku itu malah berjalan mendekati kursi yang tadi ia duduki, lalu kembali duduk.
“ bukankah sudah kukatakan padamu, mereka tidak akan memburumu. Kedua orangtuaku telah melewati batas kesempatannya. Dan chisako belum cukup umur, ia masih duduk dikelas lima SD. Mungkin kemarin ia hanya menakutimu karena marah kamarnya digunakan”, jelas Hyuga lagi.
“ satu pertanyaan lagi”, Hosina mengangkat tangannya.
“ apa yang harus kita lakukan selanjutnya?. Dan Kenapa kamu tidak memburuku seperti yang lain? Apa yang membuatku bisa percaya padamu? Bukankan kamu bilang kesempatanmu itu hanya sekali? Berarti kamu membuang kesempatan sekali seumur hidup itu, jawab aku!”, lanjutnya dengan nada sedikit memaksa.
    Hyuga berdecak kecil,
“ itu empat pertanyaan, bukan satu”, dengusnya.
“ sudah jawab saja!, buat aku percaya padamu!”, Hosina sedikit melotot.
“ baiklah, pertama, kenapa aku tidak membunuhmu, karena aku sudah berjanji”, Hyuga mengusap-usap telapak kanannya.
“ janji apa?”, Hosina mengerutkan alisnya penasaran, namun laki-laki didepannya itu malah memasang mimik marah padanya.
“ kau tak perlu tahu”, katanya cepat.
“ yang pasti yang harus kita lakukan adalah membuat mereka gagal mengambil darahmu sampai kenaikan kelas”, lanjutnya.
“ Apa!?”, seru Hosina kaget, pundaknya sampa terangkat.
“ lama sekali!”, komentarnya.
“ ya, cukup lama… Namun memang segitu waktu yang diperlukan ”, Hyuga kemudian meronggah saku seragamnya, mengeluarkan sebuah kapsul berwarna merah putih kemudian memanggil sebuah nama dengan sedikit teriak. Tak lama kemudian pelayan tadi datang, kali ini rambutnya disanggul kebelakang, membuatnya terlihat sedikit kelihatan lebih tua.
“ ambilkan aku air”, pintanya tanpa menatap perempuan itu, kemudian perempuan itu masuk dan dalam hitungan kurang dari dua menit ia kembali dengan sebuah nampan dengan segelas air putih diatasnya.
“ ini tuan”, katanya dengan suara yang terdengar manja.
“ baik, kau boleh kembali kedalam, oh tunggu”, Hyuga mengambil gelas itu, lalu menaruhnya dimeja. Ia mengambil mug kecil miliknya, lalu ditaruh diatas nampan yang dipegang perempuan itu.
“ bawa saja kedalam, tidak usah dicuci. Masih bersih, belum kupakai”, jelasnya, kali ini ia menatap mata pada pelayannya itu. Dan sukses membuat pipi perempuan itu memerah, lalu menangguk pelan.
“ baik tuan”, katanya sebelum ia berjalan pergi. Dan entah benar atau tidak Hosina merasa perempuan itu sedikit bernyanyi pelan, sangat pelan. Seolah ia sangat senang karena ditatap oleh tuannya. Ia melirik lagi kepada Hyuga sebelum ia pergi  dari ruangan itu.
   Perempuan genit.
“sepertinya ia suka padamu”, kata Hosina sambil berdecak panjang.
“ aku sudah tahu, ia sangat menjijikan. Bahkan tidak jarang ia mengedipkan sebelah matanya padaku”, ucap Hyuga sambil sedikit bergidik.
“ dan kau suka padanya?”, tanya Hosina.
“ tidak akan”, Hyuga mengusap lehernya pelan menahan rasa jijik. Kemudian ia kembali pada Pilnya, menepuknya kesudut meja sehingga pil itu terbuka, lalu menjatuhkan serbuk-serbuk berwarna putih kedalam air putih. Perlahan tapi pasti, serbuk itu membentuk beberapa gelembung-gelembung kecil sebelum warnanya pelan-pelan berubah menjadi merah terang.
   Hosina menggigit bibirnya sebelum bertanya,
“ apa itu?”, ia menyipitkan matanya melihat air yang tadinya sangat jernih telah berwarna merah yang begitu terang dan mencolok. Ia membuat kesimpulan didalam otak kanannya sebelum ia mengucapkannya, “darah?”.
“ ya”, Hyuga menatap wajah Hosina yang mulai pucat.
“ jangan melihatku begitu, aku juga butuh makan”, lanjutnya.
“…minum…”, Hosina mengoreksi.
“ kami tidak pernah minum, bagi kami meminum darah sama dengan memakan sepiring nasi berlauk pauk yang sering kalian makan”, Hyuga menjelaskan singkat sambil mengangkat gelasnya, lalu mendekatkan gelas itu kebibirnya, dan meminumnya. Saat Hyuga meminum cairan itu, ruangan terasa begitu sunyi. Hosina melihat Hyuga meminum cairan itu dengan cepat seakan sudah seminggu lelaki itu belum pernah makan dan minum, sampai cairan itu telah sepenuhnya berpindah kedalam lambungnya, dan gelas kaca ditangannya kosong. Hyuga kemudian menaruh gelas kosong itu kembali kepermukaan meja.
“ kau membuatku merinding.”, Hosina mengakui sambil meraba pergelangan tangannya.
    Hyuga menjilat permukaan bibirnya sendiri,
“ kau harus terbiasa melihatnya. Aku dan Chisako akan selalu meminum darah sehari tiga sampai lima kali”, katanya.
“ orang tuamu?”, Hosina membulatkan matanya.
“ mereka tidak tinggal disini, mereka ada dirumah yang lain. Jadi kau bisa tinggal disini tanpa ragu-ragu”, jawab Hyuga sambil mengusap bibirnya dengan kerah seragamnya, jorok.
“ tunggu, apa maksudmu? Aku tinggal disini?”, tanya Hosina kaget.
  Hyuga mengangguk.
“ lalu bagaimana dengan rumahku?, dan lagi aku harus…”, Hosina belum sempat menyelesaikan bicaranya karena Hyuga memotong,
“ jangan khawatir, telah kuurus semuanya. Semua baju, benda-benda penting, dan apapun yang bisa digunakan dirumahmu telah dibawa kesini, semuanya telah diurus pelayan pribadiku. Termaksud kunci rumahmu”.
“ pelayan pribadi? Maksudmu wanita genit tadi?”, Hosina mengerutkan alisnya.
“ bukan, pelayan pribadiku, laki-laki”
“ Tunggu”, kata Hyuga sebelum ia mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya, sebuah handphone yang sama sekali belum pernah Hosina lihat mereknya. Hyuga menekan sebuah tombol –hanya satu!– lalu mendekatkan handphonenya ketelinga.
“ ya, ini aku Hyuga. Cepat kamu datang keruang minum utama didepan… ya… ya… cepat, jangan buat aku harus meneleponmu dua kali… ya… baiklah.”, katanya dengan seseorang disudut jaringan teleponnya. Hyuga kemudian terlihat sedang mengunci handphonenya sebelum ia memasukkan kedalam kantong sakunya kembali.
 “ dia akan datang, sebentar lagi. Tunggu saja”, katanya pada Hosina.
    Hosinapun menghela nafas panjang.
^w^   ^w^   ^w^

     Hosina menjatuhkan badannya disebuah ranjang yang sangat empuk setelah seorang lelaki paruh baya, dengan rambut beruban, badan tinggi, kurus, dan tegap. Memakai jas serta dasi pita berwarna hitam membawakan tiga buah koper miliknya. Beserta beberapa barang dirumahnya yang sekarang sudah berpindah keruangan yang sangat mewah dan ber-AC ini. Baju-baju dan seragamnyapun bahkan sudah berada didalam lemari berukir tanda salib ditengah-tengahnya.
Kiota”, gumam Hosina saat menyebutkan nama yang tertera disebuah katu tanda pengenal yang diberikan lelaki paruh baya tadi, pelayan pribadi Hyuga. Lelaki tua itu memberinya sebuah kartu untuk jaga-jaga apabila Hosina membutuhkan sesuatu.
“ aku bahkan nggak tahu bagaimana cara menghubunginya, handphone ku bahkan tidak kupegang dan entah kemana”, keluh Hosina. Ia sedikit menghela nafas. Lalu badannya menegang ketika sebuah dering yang sangat tak asing ditelinganya terdengar, bersamaan dengan bergetarnya meja kecil dari kayu berwarna hitam tak jauh disamping ranjangnya. Hosina segera bangkit dan membuka laci kecil pada meja tersebut, ternyata HPnya ada disana!. Hosina bahkan hampir bersumpah  entah itu Hyuga maupun Kiota,pelayan pribadinya sangat jeli sehingga bisa mendapati handphone usangnya ini. Handphone dengan 3 fungsi : 1) Telefon , 2) Sms, 3) E-mail. Sekilas ia melihat nomor asing terpampang dilayar HPnya. Hosina segera menekan tombol berwarna Hijau,
“ Mikoto disini”
“ ya, kau”, suara diseberang sana terdengar begitu berat dan dalam, Hyuga.
“ oh, Hyuga. Ada apa?”
“ aku lupa memberi tahumu tadi”, katanya, nadanya terdengar sangat datar.
“ apa itu?”
“ tadi aku sudah menghadap ke Kepala Sekolah.”,Hyuga terdiam sebenar.
“ kau sudah nggak dikelas itu lagi”
“ maksudmu ?”, Hosina sedikit mengerutkan alis tidak mengerti.
“ ya, itu. Kau sudah tidak dikelas itu lagi, kelasku, Sepuluh Tujuh. Sekarang kau sudah pindah kesepuluh satu, ada bangku kosong disana. Dan kepala sekolah sudah mengizinkan”, ada nada seakan Hyuga berkata –kepala sekolah pasti mengizinkan – dalam nada bicaranya.   
“ mulai besok kau belajar dikelas itu”
“ Hah? Serius?”, ada semburat senyum lebar pada bibir Hosina.
“ yeah, kapan aku pernah  nggak  serius?” , koreksi Hyuga, dan Hosina membenarkan dalam hatinya.
“ lalu, bagaimana denganmu?.”
“ aku akan tetap dikelas itu, tentu saja. Aku kan berbeda denganmu.”, jelasnya.
“ benarkah? Tapi…”
   Sambungan terputus.
   Dan Hosina mengumpat dalam hati, ‘cowok nggak sopan!’. Kemudian ia mengoreksi sedikit dari pemikirannya.
      Well, dia memang tidak pernah sopan.

========================= To Be Continued======================
                                   Who is She ? Wait her in next Chapter

Sabtu, 16 April 2011

Bloods behind ‘Gomaisme’ ( Part IV )



‘ A… apa yang sebenarnya terjadi ?. Hyuga kenal dan anak ini !?, Siapa anak ini sebenarnya!?’
“onii-san…?”, muka anak itu menegang, dan kemudian menyembunyikan taring serta kukunya yang tajam.
‘ Apa !? onii-san ?!’, Hosina langsung menatap anak kecil itu dengan pandangan terkaget-kaget. Benar, semakin diperhatikan, muka anak itu semakin terlihat manis dan mirip sekali dengan Hyuga, terlebih matanya.
  ‘Tapi, apakah anak ini benar-benar adik Hyuga?’, pikirnya.
    Hyuga berjalan perlahan mendekati mereka, bersamaan Chisako yang dengan sangat cepat bergerak menjauhi Hosina dalam waktu kurang dari 1 detik.
“ Chisako, sudah berapakali kubilang jangan pernah mengganggunya!”, bentak Hyuga dengan nada yang terdengar sangat marah. Hosina membulatkan matanya ketika melihat kuku-kuku jari tangan Hyuga memanjang dan meruncing hingga mencapai 15 centi, kemudian tanpa rasa kasihan sedikitpun kuku-kuku itu telah sukses membuat wajah manis Chisako membekas sebuah luka gores cakaran, dengan darah yang keluar diantara sayatan-sayatan tersebut.
      Hosina memekik pelan, ‘apa mereka sudah gila!’, pikirnya.
“ Hyuga ! Apa yang kau lakukan !? Dia adikmu ! ”, teriak Hosina.
          Chisako terlihat menoleh pada Hosina, jari-jari tangan kanannya mengusap darah segar yang keluar dari pipinya, lalu menjilat darah yang menempel dijarinya itu. Suara decapannya sampai terdengar oleh telinga Hosina, yang tentu saja membuat jantungnya semakin berdegup kencang.
“ Aku tak percaya…”, Chisako menjilat jarinya sekali lagi.
“ ternyata orang ini bisa juga membelaku…”, lanjutnya sambil menatap tajam mata Hosina. Bola matanya yang berwarna merah terang membuat Hosina bergidik, lalu sebuah senyum yang sebenarnya tak dapat dibilang senyuman terpampang diwajahnya.
“ sayang sekali, padahal sedikit lagi aku bisa mencicipi darah segarnya itu”, paparnya.
   Tubuh Hosina sedikit bergetar,
“ Chisako ! Cukup ! ”, suara Hyuga yang lantang terasa mendengung-dengung ruangan yang luas itu.
“ Jangan buat aku harus melakukannya lagi ! ”, lanjutnya. Alis mata Hyuga terlihat mengerut, matanya menyipit, dan Hosina dapat melihat kuku-kuku jarinya sudah mulai ingin melancip, namun seakan ditahan oleh batin Hyuga.
       Chisako menatap kakaknya sepersekian detik, lalu meregangkan badannya sambil menghela nafas panjang, “Aaaahhh….”, desahnya.
“ kalau saja bukan Onii-san yang memintanya takkan mungkin Chisako akan melewatkan kesempatan ini ”, Chisako melirik Hosina lagi, ia membulatkan mulutnya seakan ingin mengatakan sesuatu. Namun nada suara yang keluar terdengar lebih pelan dan sangat dalam, “ maksudku, darah segar ini….. ”.
“ Chisako ! ”, Hyuga membentaknya sekali lagi, seakan mengingatkan.
“ iya. Iya. Onii-san… Chisako mengerti… Chisako akan keluar…”, Chisako memajukan bibirnya, cemberut.
“ Padahal Chisako sudah baik-baiknya membiarkan orang ini tidur diatas kasur kesayangan Chisako”, lanjutnya dengan suara sedikit menyindir. Lalu mengambil Boneka Kucing Hitam yang tadi ia pegang dan melangkah keluar ruangan.
         Mata Hosina dan Hyuga mengikuti langkah kepergiannya, lalu saat sosok mungil itu tak terlihat lagi, ruangan itu menjadi hening.
“ aku tak mengerti”, akhirnya Hosina membuka omongan.
“ benar-benar tak mengerti”, lanjutnya lagi dengan mata yang menatap kosong kearah pintu yang terbuka lebar.
“ dan kau tidak perlu untuk mengerti, Hosina ”, potong Hyuga dengan suara yang terdengar begitu berat.
“ aku benar-benar tak mengerti…”, Hosina menggigit bibirnya seraya menahan kantung air matanya yang sudah mulai memberontak ingin keluar, dan dengan mata yang tetap menatap kosong kearah pintu.
“ kejadian ini begitu cepat, aku bahkan belum sempat menerkanya satu persatu”, lanjutnya lagi, “dan menerimanya segalanya” kata terakhir itu membuat sebutir air mata Hosina menetes. Sebutir menjadi dua butir, dua menjadi tiga, dan terus bertambah sehingga tidak bisa dibilang sebagai butiran lagi. Ia menangis.
   Hyuga berjalan mendekati Hosina.
“  gadis kecil itu ingin membunuhku…”,  Hosina berbicara lagi, seakan tak membiarkan Hyuga berbicara ataupun membalas ucapannya.
“ dan kau melukai wajahnya hingga berdarah ”,  Hosina menatap mata Hyuga dengan serius “ terlihat begitu gampang, membuatku berpikir kau bisa dengan gampangnya melakukan itu juga padaku”, lanjutnya. “Serius”.
“ Kenapa kau tak lakukan itu sekarang padaku ? ”, seutai senyum yang menyakitkan terlihat diwajah Hosina, mengiringi air matanya yang mengalir.
“ Bunuhlah aku sekarang, jadikan aku makananmu… aku siap… Lagi pula untuk apalagi aku hidup? Toh, sudah tidak ada lagi yang aku punya… Keluarga… dan mereka juga sedang berusaha membunuhku kan?”, katanya lirih sambil terkekeh menyakitkan.
“ Kenapa kau diam ? Hei Cepat! Selagi aku bersedia… Hyuga Cepat… Tidak usah munafik, kau sebenarnya senang bukan ? Hyuga !”, suara Hosina meninggi, wajah tersenyumnya berubah menjadi tatapan putus asa.
“ Cepat Bunuh Aku Sekarang !!!! ”
     -Plaak!-
  Sebuah tamparan cukup keras membuat pipi Hosina terasa panas. Dengan mata membelalak kaget, Hosina memegangi pipinya. Hyuga menamparnya.
“ Hosina, kau sedang terguncang”, akhirnya Hyuga berbicara.
“ aku yakin, kau tak akan semudah itu menyerah ”, Hyuga menarik nafas panjang.
“ Aku mengerti bagaimana perasaanmu… Aku paham itu semua… Tapi jika kau menyerah secepat itu, berarti tidak ada artinya Ayahmu meninggal. Jika pada akhirnya kau juga akan meninggal ”, lanjutnya.
     Hosina menutupi wajahnya dengan tangan, pundaknya terlihat bergoyang keatas dan kebawah. Namun tak terdengar sedikitpun suara isakkanya.
“ Kenapa kau melindungiku ? ”, tanya hosina dengan wajah yang masih terbenam tangan.
“ yah…”, Hyuga menatap telapak tangannya, matanya terlihat sedikit sayu, dan tajam.
“ karena aku telah ‘berjanji’ ”, lanjutnya. Namun perkataan itu sama sekali tak bisa menjawab pertanyaan Hosina. Hosina mengangkat kepalanya, matanya terlihat sembab. Iapun mengerutkan alisnya. “ berjanji ? ”, tanyanya.
“ Ya… Sebuah janji lama…”, jawab Hyuga sambil menatap telapak tangannya dan tersenyum tipis. Sekali lagi ditekankan, Tersenyum Tipis!, Hyuga TersenyuM !!.
“ Lalu…”, hosina menatap jari-jari kakinya.
“ apa yang harus aku lakukan ?”, tanyanya.

^w^   ^w^   ^w^

            Hosina melangkah dengan takut kedalam gerbang sekolahnya. Sekali lagi ia menoleh sebuah pohon Sakura tak jauh disebelah kanan dibelakangnya.
“ Hyuga, aku benar-benar takut”, bisiknya pelan pada seorang cowok berbaju seragam yang sedang berjongkok disalah satu batang pohon sakura yang lebar. Rambut serta dasi seragam lelaki itu bergoyang-goyang tertiup angin. Bola matanya yang tajam dan berwarna semerah darah menatap Hosina. Ia menggerakan bibirnya pelan, “sudah, lakukan saja. Aku menjagamu dari belakang”.
     Hosina menelan ludahnya sekali lagi, ia mengangguk lalu berbalik , melanjutkan langkahnya. Tangan kanannya meraba bagian bekakang pinggulnya yang tertutupi jaket berwarna biru kelam. Jaket yang Hyuga berikan padanya. Jari-jarinya mendapati sesuatu yang padat dibelakang punggungnya, tangan Hosinapun segera mencengkramnya. Sebuah pistol Hunter. Entah dari mana Hyuga memperolehnya. Pistol ini mirip sekali dengan pistol-pistol yang sama pada salah satu anime kesukaanya, Vampire Knight. Tapi ia segera menepis semua itu, jelas ini berbeda. Yang dihadapinya sekarang ini nyata dan bukan hanya sekedar kartun anime belaka. Dan yang mereka hadapi Bukan Vampire melainkan Go… Go… Entah apalah Hyuga menyebutnya dulu.
   Deru nafas Hosina semakin tak menentu saat ia berjalan masuk ke lorong sekolah, tangannya yang semakin erat memegang Pistol Hunternya mulai berkeringat. Beruntung saat itu angin bertiup lembut membuat rambut panjangnya sedikit berkibar. Yang harus ia lakukan saat ini adalah menuju Ruang Kepala Sekolah yang berada tepat beberapa belas meter disamping kelas menakutkan itu. Dan meminta untuk mengganti ruangan kelasnya. Sebenarnya hanya itu, namun resikonya lebih besar dari yang terlihat. Siapa yang tahu jika akan ada Gomaisme yang melompat padanya, dan membuat nyawanya meghilang dalam waktu seketika. Atau taring-taring mereka yang merobek bagian sekitar lehernya dan menghabiskan semua darah yang ada didalam tubuhnya. Tangan kiri Hosina mengusap lehernya pelan, ‘tidak, itu semua tidak akan terjadi’, pikirnya.
“ Hosina chan ? ”, suara yang terdengar halus dari belakangnya membuat jantung hosina serasa ingin meloncat keluar. Ia pasti akan segera mengeluarkan Pistol Hunternya dan menembak siapapun yang ada dibelakangnya jika ia tidak segera menahan keinginannya itu.
“ Se… Senpai…”, suara Hosina sedikit bergetar saat melihat Tanaka dibelakangnya, sedang menatapnya sambil tersenyum manis.
“ lama tidak bertemu, kemarin sore saya tidak melihatmu. Apa kamu tidak masuk sekolah?”, tanyanya lembut sambil tetap menyunggingkan senyum.
“ ah tidak… ah iya… ah bukan-bukan seperti itu maksud saya…”, Hosina memutar bola matanya sekali seakan berfikir.
“ ah… kemarin saya merasa tidak enak badan dan saya diizinkan pulang”, katanya berbohong. Kebohongannya itu terlihat jelas dari dahinya yang berkeringat, Hosina menghapus keringat itu dengan lengannya.
“ Oh, bagaimana kondisimu sekarang?”, tanya Tanaka sambil memiringkan kepalanya.
“ ah… sudah lumayan baikkan…”, Hosina berusaha tertawa, walaupun tawanya itu malah terdengar seperti rintihan.
“ baiklah, ayo saya antar kekelasmu… Kamu terlihat tidak begitu sehat ”, tawaran Tanaka itu tidak membuat Hosina merasa tersanjung sama sekali. Jantung Hosina berdegup semakin kencang, sekali lagi ia memutar bola matanya.
“ Agh… Tidak usah Tanaka-san… Saya masih bisa sendiri kok. Tidak usah repot-repot mengantarkan begini… Haha…”, suara Hosina terdengar begitu terpaksa, terlebih tawanya. Beberapa kali ia menggerakan tangannya sambil menggelengkan kepala sebagai bentuk penolakan keras, tapi sepertinya Tanaka sama sekali tidak menyadari semua itu.
“ Sudahlah Hosina chan, tidak usah sungkan begitu. Sama sekali tidak merepotkan kok, ayo!”, sambil tersenyum Tanaka menarik tangan Hosina, menuntun badan Hosina yang terlihat terhuyung. Padahal sebenarnya badannya bukan sedang terhuyung tapi merasa ingin mengambil ancang-ancang untuk berlari pergi.
“ Ah… Tidak usah Tanaka san… saya…”, sebuah kerutan muncul diantara kedua alisnya. Kepalanya menoleh kesegala arah mencari seseorang, tapi tidak terlihat seorangpun disana. Ia hampir mengeluarkan kata-kata kasar pada Hyuga yang bilang padanya akan mengikutinya dari belakang. Tapi semua itu hilang pada saat Tanaka membimbingnya semakin dekat kearah ruangan kelas menakutkan itu. Mata Hosina mulai berlinang berusaha menahan segala ketakutan, ia menoleh sekali lagi kebelakang, ia menjerit dalam hati ‘Hyuga!, Tolong Aku!’.
      Seseorang meloncat entah dari mana, lalu berhasil mengambil alih tangan Hosina. Didekapnya tangan mungil itu dengan tangannya yang cukup besar. Hyuga menatap mata Tanaka tajam, terlihat baju seragam putihnya mulai berwarna kecoklatan karena kotoran dari dahan Pohon yang ia duduki tadi. Dasinya yang terlihat semakin kendor berkibar tertiup angin, hampir menampar wajahnya. Rambutnya terlihat berantakan, dan matanya masih sama seperti sebelum-sebelumnya, terlihat menakutkan.
“ dia sedang ada perlu denganku”, katanya tanpa nada sedikitpun, terdengar sangat datar.
“ Hyuga…”, Tanaka menutup mulutnya seakan mengagetkan sesuatu.
“ lima menit lagi bel berbunyi, tak akan kubiarkan kau kabur seperti dulu”, nada suara Tanaka terdengar sedikit tidak sopan. Berbeda sekali dengan pada saat ia berbicara dengan Hosina.
“ dan kalaupun itu terjadi, Hosina chan tidak akan terlibat bersamamu”, lanjutnya sambil menarik tangan kanan kiri Hosina, “tidak akan”.
“ kalaupun ayahku yang memintanya?”, mata Hyuga membulat sambil menekankan nadanya “atau ibuku mungkin?”, lanjutnya.
            Tanaka terlihat bingung saat itu, seakan sedang mengimbang-imbangi sesuatu. Ia menggaruk rambutnya yang tidak gatal,lalu kemudian menghela nafas panjang.
“ baiklah, kali ini kau menang”, katanya sambil melepaskan tangan Hosina.
“ tapi ingatlah Hosina chan, tidak baik berteman dengannya. Karena dia itu pernah…”, belum sempat Tanaka melanjutkan perkataannya Hyuga telah menarik Hosina pergi dari sana. Namun dengan arah yang berlawanan dari arah yang seharusnya mereka datangi, ia kembali lagi kelorong sebelumnya dan berbelok kearah laboratorium, dan berhenti tepat didepan pintu. Ternyata Hyuga sama sekali tak berniat untuk masuk kedalamnya.
“ kau kasar sekali padanya”, Hosina melepas pelan tangannya dari genggaman Hyuga, lalu mengusap-usap tangannya yang terasa dingin oleh suhu badan Hyuga.
“ dan terimakasih…”, lanjutnya tanpa mau menatap mata Hyuga.
         Hyuga menatap wajah Hosina yang tertunduk, lalu menarik tubuhnya dan memeluknya. Hosina hampir saja berteriak, dan matanya terbelalak. Namun pelukan itu hanya terjadi kurang dari 5 detik karena selanjutnya Hyuga melepasnya.
“ setidaknya bauku akan melindungimu selama aku pergi”, kata Hyuga tanpa merasa bersalah sedikitpun. Hyuga menatap Hosina yang masih menganga.
“ Hei ! ”, tegurnya membuat Hosina hampir meloncat.
“ Ah… Iya !? ”, Hosina terlihat kelabakan, namun selanjutnya ia terdiam seberntar dan berfikir. “ Tunggu dulu…”, ia mengerutkan alis.
bau? Pergi? Apa maksudmu ? ”, tanyanya.
“ Ya, pelukan itu membuat bauku sedikit menempel diseragammu. Aku akan pergi sebentar, kau tunggu di Lab. Jangan lakukan apapun ketika kau melihat salah satu dari mereka. Jangan membuat gerakan seakan kau punya Pistol itu pada mereka. Gunakan pistol itu jika kau benar-benar terdesak. Dan selama itu, bauku akan tercium dari seragammu. Mereka akan berfikir aku ada disekitarmu, dan mereka tidak akan berbuat macam-macam padamu ”, jelas Hyuga sambil melepaskan dasinya, lalu menyerahkannya pada Hosina, “ pegang ini, untuk penambah bau ”.
“ tunggu, kau mau kemana?. Jangan tinggalkan aku!”, suara Hosina hampir terdengar seperti merengek. Namun Hyuga tidak mendengarkannya,
“ tunggu disini, dan ingat perkataanku tadi”, katanya datar kemudian ia –entah dengan cara apa– sudah tidak terlihat dihadapan Hosina. Disana hanya terlihat Hosina sedang memegang erat dasi milik Hyuga. Dan pada saat itu bel masuk berbunyi, ia menghela nafas panjang. Pastinya murid kelasnya itu tidak akan keluar pada saat tengah pelajaran bukan?.
            Hosina menelan ludahnya sekali sebelum membuka pintu Laboratorium. Kehadirannya disambut oleh seorang guru perempuan berpakaian Jas Lab berwarna putih bersih. Kacamata bersender diantara kedua matanya yang sipit, rambutnya yang hitam diikat kencang kebelakang, sebuah senyum simpul terlihat dari bibirnya yang sedikit tebal.
“ ada yang bisa saya bantu?”, tanya sensei itu sopan.
“ ah tidak ada sensei”, Hosina menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
“ saya hanya disuruh menunggu disini, kemungkinan teman saya ada perlu disini dan meminta bantuan saya”, lanjutnya penuh kebohongan.
    Sensei itu menangguk,
“ apa kita pernah berkenalan sebelumnya?. Oh, kamu pasti siswi baru disini,benar?”, tanyanya lalu berjalan mendekati Hosina yang sedikit mundur menjauh.
 “ perkenalkan, saya Migami Sensei. Guru Penelitian Kimia, kebetulan saat ini sedang jadwal kosong. Lalu siapa namamu gadis kecil?”, sapanya ramah, membuat Hosina langsung percaya padanya seratus persen.
“ Hosina… Hosina Mikoto…”, Hosina membungkuk Hormat.
“ Hosina Mikoto, nama yang manis sekali”, puji Migami Sensei sambil tertawa pelan.
“ Ah… terimakasih sensei”, kata Hosina sambil tersipu malu, sensei ini benar-benar ramah. Semua ketakutan Hosina seakan lenyap ketika melihatnya.
“ Kelas berapa?”, tanya sensei itu lagi, membuat tubuh hosina sedikit berdesir.
“ ah… saya..”
       Pintu Laboratorium terbuka, denyitannya membuat jantung Hosina serasa ingin meloncat keluar dari dalam tubuhnya. Ia –terpatnya mereka– menoleh kearah pintu. Seorang wanita cantik  masuk keruangan Lab. Rambutnya yang sedikit ikal berwarna kemerahan dibiarkan jatuh menutupi pundaknya yang kecil. Bulu matanya lentik, bola matanya berwarna biru pekat. Hidungnya mancung, dan bibirnya begitu mungil dan tipis. Namun baju yang ia kenakan tidak sefeminim wajahnya. Sebuah seragam yang sama persis seperti yang Hosina kenakan terlihat begitu menekan tubuhnya yang ramping, hampir seluruh lekuk tubuhnya dapat terlihat mencuat seakan ingin keluar dari seragamnya. Paha yang terlihat putih dan mulus terlihat dari rok mini yang ia kenakan. Kancing pertama dan kedua seragamnya ia biarkan terbuka sehingga belahan dadanya terlihat, bersamaan dengan sebuah kalung berwarna perak yang menggelantung dilehernya. Kedua tangannya menggenggam erat sebuah map berwarna merah pucat. Gadis itu tersenyum simpul.
“ maaf mengganggu”, sapanya terdengar begitu ramah.
“ sensei…”, perempuan itu mendekati Migami sensei, lalu menyerahkan map merah yang sedari tadi ia pegang padanya.
“ apa ini ?”, Migami sensei mengernyitkan alis matanya.
“ Proposal penelitian, kemarin saya melakukan penelitian di salah satu Gedung Penelitian ternama ‘Oozi Tsuu’. Mungkin hasil ini akan membuat sensei sedikit tertarik”, katanya.
            Merasa kedua gadis ini tidak berbahaya, Hosina memutuskan untuk membiarkan mereka berbincang-bincang. Ia melangkah kesudut kanan ruangan, disana terlihat sebuah tabung berukuran besar yang didalamnya jelas terlihat seekor bayi paus tengah diawetkan. Kulit paus tersebut sama sekali bersih tak terkelupas. Bahkan Hosina sempat berfikir paus itu masih hidup, namun ia segera terkekeh pelan menyadari pikiran bodohnya itu. Hosina bersender pada salah satu sudut meja wastafel dibelakangnya, matanya menoleh keluar ruangan dari jendela yang terlihat gelap dari luar, dilipat kedua tangannya menutupi pusar sambil sesekali ia menghela nafas.
   ‘Hyuga, cepatlah kembali’, pikirnya pelan.
       Hosina menghela nafas sekali lagi, lalu pandangannya beralih pada dua wanita cantik didepan ruangan. Mereka tengah sibuk membicarakan hal yang sama sekali tidak Hosina ketahui. Mata Hosina memandang gadis cantik yang sedang berdiri membelakanginya, badanya yang bergerak membuat rambut panjangnya sedikit terkibar. Rambut merah itu sangat jarang ia lihat, khususnya orang jepang. Setahu dia, orang yang memiliki rambut berwarna kemerahan biasanya daerah dingin seperti Amerika, Spanyol, dan daerah sekitarnya. Kecuali, jika wanita itu mengecat rambutnya sedemikian rupa. Pikiran itu langsung ditepis Hosina, ‘tidak mungkin’, pikirnya. Ya, tentu saja tidak mungkin. Karena disekolah ini dilarang keras mengecat rambut, setahu dia.
            Hosina kembali bergumam pelan, lalu membuang pandangannya kejendela lagi. Tidak ada siapapun disana.
   ‘Sial, ternyata ‘sebentar’ bagi Hyuga begitu ‘ Lama’ menurutku’, umpatnya dalam hati.
       Matanya menari-nari menjelajahi ruangan yang cukup luas itu. Bau-bau menyengat tercium dari mana-mana. Namun tidak terlalu menyengat seperti sekolah regular biasanya , sekolah khusus ini memiliki fasilitas 2 AC pada tiap-tiap ruangannya. Sekarang ia mengerti mengapa biaya administrasi sekolah ini begitu mahal.
                         Hosina membelalakan matanya pelan, ia ingat tentang ayahnya  –almarhum ayahnya  lebih tepatnya– masih tergeletak dirumahnya. Membujur dengan kaku. Hosina menggigit bibirnya sekeras mungkin berusaha menahan tangis, lalu mengerjap-kejapkan matanya. Pandangannya terhenti pada sesuatu yang tak sengaja terlihat mengkilat pada sebuah meja yang putih bersih. Hosina mendekat, ternyata itu sebuah tetesan berwarna merah, mungkin salah satu larutan disini. Dan benar saja, dihadapannya terlihat beberapa tabung kimia dengan cairan-cairan berwarna merah pekat. Hosina menghela nafas lega, lalu jarinya perlahan mencolek cairan itu, membiarkannya tergenang di ujung telapak jari telunjuk Hosina yang putih, lalu entah apa yang mendorongnya melakukan ini, Hosina mengendusnya.
       Sesuatu membuat badannya terasa tersetrum. Bau yang ternyata sangat menyengat, dan asalnya dari tetesan air ditangannya ini. Hosina sempat khawatir kalau kalau ternyata air ini adalah salah satu air keras, namun itu tidak menjadi pikirannya lagi melihat tidak terjadi apapun pada jarinya. Diendusnya sekali lagi tetesan itu, badan Hosina kembali mendesir. Ia tidak mau terlalu cepat mengambil kesimpulan seperti apa yang ada diotaknya. Diambilnya sehelai tissue yang ada tak jauh dari tempatnya berdiri. Dibersihkannya tangannya dari tetesan menyengat itu, lalu tisu itu ia buang ketempat sampah yang persis berada dibawah meja wastafel. Dengan sangat hari-hati Hosina kembali ketempat ia menemukan tetesan merah itu, diraihnya salah satu tabung berwarna merah terang yang berjajar dihadapannya. Perlahan tapi pasti dibukanya sekat yang menutupinya. Dengan tangan sedikit bergetar dan jantung yang berdegup seolah waspada Hosina mendekatkan hidungnya pada permukaan tabung dan diendusnya perlahan. Sedetik kemudian bau yang sangat menyengat serasa menusuk indra penciumannya, Hosina segera menutup dan menaruh kembali tabung itu ketempatnya dengan cepat. Hanya satu kata yang ada didalam otaknya yang sama persis dengan apa yang ia pikirkan tadi, darah. Cairan merah kental itu adalah darah.
    ‘Oh tidak ini benar-benar mengerikan, aku harus cepat pergi dari sini!’, jeritnya dalam hati kemudian berbalik, dan ia hampir menjerit lagi ketika mendapati seorang gadis cantik berpakaian seksi berada persis dihadapannya. Sebuah senyum lebar dan terlihat begitu manis muncul dari bibirnya yang mungil.
“ ada apa?”, tanyanya ramah, tidak ada satupun nada yang terdengar mencurigakan keluar dari perkataanya.
    Hosina menggeleng,
“ ah… tidak kok, tidak ada apa-apa”, jawabnya sambil tetap menggeleng, mengusir ketakutan yang menjalar disekujur tubuhnya. Ia melirik kearah meja Mizuki sensei, dan ternyata  guru itu sudah tidak ada lagi disana. Hosina menelan ludahnya.
“ ah… larutan ini…”, gadis cantik itu menuju larutan merah yang tadi juga diambil Hosina, membuka tutupnya, mengendusnya, lalu seketika menjauhkan tabung itu dari wajahnya, sama persis seperti yang tadi Hosina lakukan. “sangat menyengat ya?”, lanjutnya sambil menatap Hosina, alis matanya sedikit mengerut.
“ ya, sangat… tidakah kamu berpikir baunya seperti… ah… mungkin hanya perasaanku saja… tapi baunya benar-benar tercium seperti…”,
darah ?”, potong gadis itu dengan begitu tepat. Hosinapun mengangguk dan gadis itu tertawa renyah, suaranya yang halus sampai menggema diseluruh ruangan.
    Hosina menundukan wajahnya, ia pasti benar-benar dianggap bodoh kali ini. Gadis ini pasti mulai menganggapnya terlalu banyak nonton film horror atau semacamnya.
“ terlebih dari pada itu”, gadis itu mengelap bibirnya dengan lengan setelah puas tertawa. Lalu ia menjilat bibirnya sendiri, mengendus aroma menyengat darah itu sekali lagi. Dan detik selanjutnya mata hosina melebar dan bola matanya membulat ketika menyaksikan gadis cantik itu menaruh permukaan tabung kebibirnya, lalu menuangkan isinya yang perlahan berpindah kedalam lambungnya. Suara tegluk demi teglukkan bahkan sampai terdengar oleh Hosina diruangan yang sunyi itu. Buluk kuduknya bediri, ketakutan menjalar dirinya. Gadis itu menelan semua cairan kental berwarna merah di tabung itu hingga habis. Setelah tabung itu terasa ringan dan kosong, gadis itu menjauhkannya dari mulut. Sekali lagi dijilatnya bibirnya yang terlihat sangat merah karena cairan tadi.
“ cairan ini benar-benar enak, seperti katamu. Darah ini benar-benar nikmat sampai kekerongkongan”, katanya sambil menatap tajam pada Hosina. Mulutnya tertarik kekanan, namun senyum yang terlihat tidak seperti sebelumnya, terlihat begitu menakutkan.
            Dengan tubuh bergetar Hosina segera berbalik dan berlari menuju pintu. Dan baru saja ia ingin memegang gagang pintu itu, sebuah tubuh tiba-tiba muncul menutupinya. Gadis itu sudah berdiri didepan pintu masuk sekaligus keluar menuju Laboratorium ini, dan menghalanginya. Hosina mundur beberapa langkah hingga tersandar pada tembok yang dilapisi Ubin berwarna putih, badannya semakin bergetar hebat. Terlebih saat gadis itu tersenyum lebar, memperlihatkan gigi-giginya yang tertata rapih dan putih. Kemudian dua buah giginya bergetar pelan seakan oleng dan ingin terjatuh. Namun bukan itu yang terjadi, karena selanjutnya kedua gigi itu memanjang dan telah berubah ukuran lebih besar dan tajam dari giginya yang lain. Dua bongkah taring yang terlihat sangat menyeramkan menonjol dari dalam mulut mungilnya, ia menjilat tangan kirinya sekali sebelum tersenyum lebar pada Hosina dan berkata dengan suaranya yang terdengar halus dan begitu serak,
     “ Hello Hosina chan ♥…”.
====================== To be Continue ====================
                                   The Mysterious Girl said, “ Hello Hosina chan ♥…”.

Jumat, 15 April 2011

MATAHARI

Matahari adalah sumber kehidupan di dunia ini. Tanpa matahari dunia bukanlah dunia yang sebenarnya. Karena yang dapat kita lihat adalah kegelapan yang amat sangat. Dengan matahari, dunia terasa lebih indah.

Bagaimana dengan matahari yang ada di dalam diri kita?. Apakah sudah bersinar cerah?. Ataukah masih redup-redup? Manusiapun memiliki matahari di dalam jiwanya. Matahari yang dapat membuka mata hatinya untuk menjadi lebih berguna dan menyadari arti penting kehidupan yang sesungguhnya. Namun, apakah semua manusia di dunia ini telah menyadari masing-masing sinar mentarinya itu?. Aku tidak tahu, orang lainpun tidak akan pernah tahu. Yang dapat mengetahui hal itu hanyalah dirinya sendiri.

Itulah yang selalu aku pikirkan selama ini. Tanpa henti, dan tanpa pudar. Untuk apa kita hidup jika ujung – ujungnya kita meninggal juga?. Untuk apa sebenarnya kita berusaha jika akhirnya usaha itu akan pudar dalam diri kita?. Buat apa kita bernafas jika nanti pada akhirnya kita akan tergeletak tak berdaya.
“ Hai Amel”, sapa seorang temanku, Reza. Sesungguhnya aku malas bergaul seperti anak-anak pada umumnya. Toh ujung-ujungnya kita bakalan pisah juga dengan seiringnya waktukan?. Paling nanti yang ada hanya isak tangis dan kesedihan untuk berpisah. Namun Reza adalah teman masa kecilku yang sudah kukenal dekat. Sudah 16 tahun kita bersama, jadi kupikir mungkin kita akan bersosialisasi dengan waktu yang cukup lama. Jadi aku sering berbincang pada Reza, hanya Reza. Yah…, hanya Reza. Teman – teman sekolahku menganggapku orang yang sombong. Aku tak pernah ngobrol selain dengan Reza, tidak pernah pergi kekantin. Dan tidak pernah bangkit dari bangku selain ada keperluan penting. Akupun tidak peduli dengan semua itu. Toh, satu tahun lagi kita semua akan berpisah.
“ Nggak ke kantin?”, tanyanya, aku hanya tersenyum dan menggeleng.
“ Kenapa?, dikantin sekarang ada lauk baru loh?. Bebek presto”, katanya lagi seraya mengambil bangku di meja sebelahku, lalu duduk.
“ Murah?”, tanyaku dengan pandangan lurus.
Reza menggaruk-garuk kepalanya.
“ Yah…, dibilang murah sih enggak… tapi lebih murah dari pada yang biasanya loh!, hanya sepuluh ribu”, jelasnya.
Huh!, buat apa buang-buang uang sepuluh ribu untuk membeli makanan yang hanya sekejap saja dirasakan. Setelah turun ke kerongkongan, sudah tak terasa lagi. Mendingan makan lauk dirumah. Tak usah mengeluarkan biaya, tapi cukup mengenyangkan.
“ Oh…”, desahku singkat.
“ Kok cuma ‘oh’?, ayo kita makan disana? Semua orang bilang enak loh!”, ajaknya dengan wajah berbinar – binar.
“ Nggak ah, lo aja !”, kataku malas lalu membuang muka ke arah jendela. Untungnya posisi dudukku sangat strategis, di dekat jendela. Jadi aku sering menatap keluar, sambil melihat orang yang berlalu lalang.
“ Kok gitu?”, Reza memasang mimik kecewa.
“ Ayo donk Mel, sekali ini saja… dari pada duduk nggak jelas disini terus… apa itu bokong nggak sakit?”, bujuknya membuatku agak sedikit tersindir. Kenapa sih orang tuch suka mengatur-ngatur kehidupan orang lain?. Hidupku ya hidupku, hidupmu ya hidupmu. Itulah motoku sejak kecil, dan sungguh aku akan sangat sebal jika ada seseorang yang ikut campur dalam kehidupanku.
“ Apa urusan lo?, pliss donk Rez… jangan bikin gue jadi sensi”, aku melirik Reza sedikit, seolah ingin berkata secara baik – baik.
“ Ya sudahlah…”, Reza menyandarkan badannya pada penahan kursi.
“ Tapi lain kali lo harus temenin gue kekantin ya?”, katanya dan lagi – lagi aku hanya tersenyum tanpa memberi respon sama sekali. Inilah yang biasa aku lakukan, setidaknya saat bersama Reza. Entah apa yang membuatnya betah berteman denganku. Padahal aku hanya bicara seperlunya dengannya. Inipun yang terbaik dari yang terbaik dalam bersosialisasiku. Karena aku hanya akan bicara pada orang lain jika itu memang butuh pembicaraan, misalnya minta tugas nilai pada guru. Selebihnya?, tidak pernah dan untuk apa?. Tidak ada untungnya bagiku.

* * * *

‘Dimanakah matahariku?’, itulah yang lagi-lagi aku pikirkan setiap aku melangkah masuk ke dalam rumahku. Rumah yang selalu orang bilang besar, namun hanya aku yang tinggal di dalamnya. Orang tuaku meninggal saat aku berumur 10 tahun, entah apa yang membuat mereka pergi dari dunia ini. Yang kudengar mereka kecelakaan dan kehabisan darah. Tapi bagaimana dan kapanpun tidak pasti. Karena mereka terlalu sibuk dan sangat jarang berkomunikasi denganku. Sekarang kehidupanku dibiayai oleh kakak almarhum ayahku. Setiap minggu dia mentransfer uang ke rekening bank milikku dengan jumlah yang cukup besar, tapi aku tak pernah berfikir untuk memakainya. Paling-paling aku hanya memakainya untuk membeli barang yang penting saja. Misalnya pakaian, bahan makanan, dan biaya keperluan sekolah. Selebihnya akan selalu tersimpan di rekeningku.

Apakah aku memiliki matahari di dalam jiwaku?. Tapi mengapa matahari itu tak pernah muncul dan tak pernah terasa?. Mengapa sampai sekarang batinku selalu penuh dengan pertanyaan yang tak pernah bisa terjawabkan?. Mengapa alur kehidupanku sama sekali tidak ada yang berubah?. Berjalan mengikuti aliran waktu. Hanya umur dan raga yang berbeda?. Tapi yang lainnya?, kurasa tidak ada.
Kujatuhkan badanku di kasur sebelum aku mengganti pakaianku. Menatap langit- langit kamar yang sudah kotor dan penuh dengan sarang laba-laba. Jujur, selama ini aku tidak pernah membersihkan rumah ini. Jangankan bagian yang sulit, bagian yang dapat kujangkaupun rasanya berat. Bibiku sering menyarankanku agar memakai jasa pembantu. Tapi aku tak pernah setuju, karena itu artinya aku harus bersama seseorang yang bukan siapa-siapaku dalam satu rumah, dan berdua saja. Terima kasih, tapi itu tidak akan pernah terjadi.

Lamunanku tersadar saat hpku bergetar, segera kuraih dengan setengah hati. Kulihat nama yang terdapat di layar sana…..Reza…., ngapain lagi dia menelfonku?.
“ Ya hallo”, sapaku dengan nada datar.
“ Hai… lagi dimana?”, tanyanya yang bagiku nggak penting banget.
“ Di rumah”, jawabku singkat dan jelas.
“ Di rumah lagi?, waduuh… lo ini gimana sih?, masa selama ini lo hanya menghabiskan waktu di rumah dan di sekolah saja sih?”. Yak!, pasti dia akan meminta sesuatu. Aku hafal banget dengan nada suaranya yang seolah-olah diperlembut.
“ Gimana kalau kita jalan keluar?”. Tuh kan… apa kubilang?!.
“ Malas ah”, jawabku. Aku membuka kancing bajuku sambil bangkit dari kasur.
“ Kok gituu?”, rengeknya seperti mencoba untuk merayu.
“ Ya sudah deh, kalau begitu gue main kesana ya!”, lanjutnya ketika tidak mendapatkan respon sedikitpun dariku.
“ Eehh… tunggu!”

Sambungan terputus, bagus banget!. Aku ingin segera tidur dan bersantai. Baru saja aku selesai memakai baju, pintu kamarku terbuka secara tiba-tiba. Otomatis aku berteriak, karena aku belum menyempurnakan letak pakaianku. Setelah benar, aku langsung menimpuki orang itu dengan bantal tanpa ampun. Reza sampai meringis dibuatnya.
“ Ngapain lo disini!?, masuk ke rumah orang tanpa izin lagi!”, jeritku.
“ Ya sorry, abis pintu rumah lo terbuka lebar sih, gue pikir maksudnya gue disuruh langsung masuk ke dalam”, jelas Reza sambil terus melindungi dirinya dari benturan-benturan empuk nan menyakitkan. Aku langsung menghentikan aksiku, aku baru ingat kalau tadi aku belum menutup pintu dan langsung masuk kedalam kamar. Aku langsung terkekeh malu.
“ Yee… malah ketawa!, lo belum mandi ya?”, tanya Reza sambil menatapku dari atas kebawah, dan aku hanya mengangguk.
“ Ya ampun!, anak cewek jam pulang sekolah belum mandi?, ngapain aja neng?”, katanya sambil mengacak-acak rambutku yang mulai kusut dan tidak terawat. Aku tidak membantah sama sekali, karena memang begitulah kenyataannya. Aku malas mandi, malas ngapa-ngapain, dan malas bergerak. Namun anehnya aku sama sekali tidak gemuk-gemuk. Apa mungkin karena ini sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil?.
“ Mandi gih?, masa gue udah dandan rapih-rapih lonya amburadul begitu?”, perintahnya sambil mengambil handuk lalu melemparnya padaku.
“ Ogah! Gue nggak mau, kebiasaan gue nggak pernah mandi setiap sore!”, jawabku sambil melempar balik handuk kepada sang pelempar tadi.
“ Lo kenapa sih Mel? gue liat dari dulu lo tuh nggak berubah-rubah?, kenapa sih lo selalu menyendiri dan bermalasan seperti ini?”, tanyanya sambil menatapku sedikit aneh.
“ Ini nggak ada urusannya sama lo!”, jawabku dengan nada agak tinggi.
“ Tapi gue ngerasa heran aja, kenapa dari dulu lo nggak pernah mau berusaha untuk berubah Mel?”, tanyanya lagi tetap pada pendiriannya. Aku sudah malas kalau begini.
“ Reza!, ini nggak ada hubunganya sama lo!”, bentakku agak kasar, raut wajahkupun kuyakin sudah agak terlipat.
“ Dan kenapa setiap gue nanya hal ini sama lo, lo selalu saja langsung emosi?”, Reza menatapku penuh keseriusan.
“ Reza!!!”, bentakku sambil menatapnya dengan mata nanar. Aku nggak mau membahasnya!, nggak mau!. Ini semua malah membuatku makin pusing untuk memikirkannya.
“ Mel?, kok lo malah malah jadi nangis sih?”, tanyanya.
“ Siapa yang nangis sih Rez… gue nggak nangis kok?”, jawabku cepat.
“ Lo nggak usah bohong Mel, gue kenal lo dari kecil… gue udah tau baik buruknya elo… dan gue tau elo mau nangis kan?, ada apa sih?” Reza mendekatiku perlahan, aku hanya menggigit bibirku hingga terasa perih.
“ Ya ampun Mel… kenapa lo masih belum bisa terbuka sama gue?, padahal gue sudah berteman sama lo dari dulu?, apa gue sebegitu nggak dapat dipercayanya?”,ungkapnya.
“ Bukan gitu Rez…”, aku hanya menggeleng sambil duduk diatas kasur.
“ Lalu kenapa elo nggak pernah berubah dari dulu?, lo nggak pernah mau bergaul ?, lo nggak pernah mau merawat diri lo sepenuhnya ?, lo selalu jaga jarak sama orang lain, dan lihatlah… kamar lo ini kotor dan penuh dengan sarang laba-laba? Padahal kalau dibenahin sedikit saja pasti akan terlihat lebih indah?”, tanyanya bertubi-tubi hingga membuatku semakin binggung.
“ Susah ngejelasinnya Rez… susah… mungkin lo nggak bakal bisa ngerti”, aku menunduk kebawah menatap jari-jari kakiku.
“ Gue mungkin bakal ngerti Mel… belum dicoba kok sudah mengambil kesimpulan? Mel … jujur sama gue… gue bakal bantu lo sebisa gue...”, katanya dengan nada yang seolah ingin meyakinkanku.
Aku menghela nafas panjang sebelum menatap matanya.
“ Lo tahu nggak Rez, apa yang selalu gue pikirkan selama ini?”, tanyaku.
“ Mana gue tahu, lonya aja belum kasih tahu”, candanya. Namun saat sadar aku tak meresponnya, dia langsung terdiam kemudian menggeleng “ Gue nggak tahu!”.
“ Gue sampai sekarang masih belum merasakan adanya matahari di dalam sini”, kataku sambil menunjuk ke arah dadaku.
“ Matahari?”, Reza mengerutkan alisnya, hingga urat-urat dahinya terlihat menyembul.
“ Iya, matahari… setiap orang pasti memiliki matahari di dalamnya… tapi sampai sekarang gue masih belum merasakannya… jadi gue nggak ngerti akan arti hidup sebenarnya”, aku menatap tegas Reza. Kali ini dia tidak berguming. Dia hanya diam menunggu kata-kataku selanjutnya.
“ Gue kadang berfikir. Untuk apa kita hidup jika ujung-ujungnya kita meninggal juga?. Untuk apa sebenarnya kita berusaha jika akhirnya usaha itu akan pudar dalam diri kita?. Buat apa kita bernafas jika nanti pada akhirnya kita akan tergeletak tak berdaya ?. Untuk apa kita memiliki banyak teman jika nantinya hanya ada kesedihan saat perpisahan?, untuk apa kita makan jika hanya terasa sampai kekerongkongan saja?, untuk apa kita tersenyum kalau nantinya kita akan menangis? Untuk apa kita bersih-bersih jika nantinya akan kotor juga?, untuk apa kita mengatur hidup, jika pada akhirnya kita akan masuk dalam dua alam lainnya?”, tanyaku dengan panjang dan bertubi-tubi. Kulihat Reza hanya terdiam seolah tak percaya bahwa seorang Amel memiliki pikiran yang dangkal seperti ini.
“ Lo liat rumah gue, orang-orang bilang gue beruntung memiliki kekayaan sebanyak ini. Padahal bagi gue rumah sebesar inipun akan terasa hampa tanpa ada orang yang menyayangi di sisi kita?”, aku melirik Reza sekali lagi, dia masih terdiam. Tuhkan, dia nggak bakalan bisa mengerti sama sekali.
“ Jadi sering kali gue berfikir, gue ngerasa hidup itu nggak ada artinya sama sekali… dan gue berfikir untuk tidak terlalu mengaturnya”, aku bangkit dari dudukku untuk mengambil minum.
“ Tuh kan, lo nggak….…”, belum selesai aku menuntaskan perkataanku, terdengar suara tawa langsung membahana dari arah belakangku. Otomatis aku langsung menoleh, apa-apaan ini?!. Reza malah asyik tertawa setelah mendengar curhatanku, seakan-akan menganggap remeh semua itu.
“ Apanya yang lucu?!!”, bentakku dengan sangat kesal.
“ Gini deh!, sekarang lo cepet mandi dan ikut gue ke suatu tempat”, perintahnya tiba-tiba sambil melempar handuk padaku sekali lagi.
“ Hah?, kemana?, ngapain?”, kataku heran.
“ Sudah sana cepetan mandi!, jangan banyak nanya dulu, lihat saja nanti”, serunya sambil mendorong- dorongku masuk kedalam kamar mandi. Aku hanya pasrah dengan pikiran yang penuh pertanyaan. Reza mau ngapain sih?!.

* * * *

Aku sama sekali tidak mengerti kenapa Reza membawaku kepanti asuhan?. Tapi setiap kali aku bertanya, dia selalu menjawab “ Lihat saja nanti! “. Sampai pada akhirnya Reza mengajakku ke taman di suatu panti asuhan. Di sana terlihat banyak anak kecil yang sedang berlari-lari dan bermain dengan riangnya. Tapi aku sama sekali belum paham, apa tujuan dari semua ini.
“ Lo lihat deh anak-anak itu”, katanya sambil menunjuk ke arah anak-anak kecil yang sedang bermain tersebut.
“ Hah?, memangnya ada apa dengan mereka?”, tanyaku.
“ Bisa lo bayangin nggak?, mereka semua sama sekali tidak mempunyai anggota keluarga, bahkan diantara mereka ada yang tidak tahu siapa jati diri mereka sendiri. Meraka hanya bisa menunggu saat datangnya seseorang yang dengan baik hati mengangkat mereka sebagai anak!”, jawabnya, dan aku hanya terdiam.
“ Tapi lihatlah wajah mereka. Mereka begitu bersemangat dan ceria!……tidak berputus asa!. Mereka tidak ingin kehidupannya sia-sia. Buktinya mereka bebas tertawa-tawa….bahagia….., dan sama sekali tak tampak dari wajah mereka kesedihan yang mendalam”, jelasnya lagi.
“ Tapi………” aku berusaha untuk menyela.
“ Mel…, arti hidup yang sebenarnya adalah berusaha untuk mencapai puncak keberhasilan dalam kehidupan ini. Walau kita tahu, keberhasilan itu tak akan berlangsung lama. Namun kita harus yakin, bahwa suatu saat nanti kehidupan ini harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Tuhan sudah merencanakan semuanya. Ketahuilah……Tuhan itu Maha Adil, Mel. Tuhan Maha Menolong dan Menyayangi umatnya”, Reza menatap mataku dengan penuh keyakinan.
“ Mengapa kita harus bersih?, agar jasmani kita bersih dan sehat. Mengapa kita harus bersosialisasi?, karena manusia tidak akan mungkin bisa hidup sendiri. Mengapa kita harus makan?, agar kita tidak sakit dan fisik kita kuat. Mengapa setiap manusia harus mati?, karena kalau tidak, dunia ini tidak akan seimbang. Agar keseimbangan itu dapat terjadi, maka Tuhan menciptakan kehidupan dan kematian”.
“ Semua kehidupan itu pasti ada maknanya, dan tujuannya masing-masing. Dan kita harus berusaha agar keberhasilan itu kita raih untuk bekal diakhirat nantinya. Bagaimana mungkin kita bisa berhasil tanpa berusaha sama sekali ?. Bagaimana mungkin kita bisa bahagia, jika hati kita tak dapat berpandang lurus kedepan. Ketahuilah Mel, dunia ini begitu luas…..jangan hanya melihat di satu titik saja. Rugi…..kita harus menggunakan waktu sebaik-baiknya agar mencapai kesuksesan dunia akhirat. Gue yakin lo pasti bisa Mel! Cuma gue lihat, lo belum ada kemauan untuk berusaha”.
Aku hanya bisa terdiam selama Reza berbicara. Entah mengapa, aku merasa ada sesuatu yang hangat di dalam hatiku. Apakah selama ini aku salah menilai kehidupan?. Apakah aku ini memang sudah terjerumus ke dalam lubang yang sangat dalam?.
“ Masih ada satu lagi Mel ”, kata Reza lagi. Aku langsung menoleh kearahnya.
“ Lo bilang lo merasa hampa tanpa ada orang yang menyayangi lo kan?”, tanyanya, dan hanya kujawab dengan anggukan kepala.
“ Apa lo sebegitu nggak nyadarnya kalau sebetulnya ada seseorang yang begitu menyayangi lo?”, katanya membuatku mengerutkan alis.
“ Siapa?”, tanyaku pada akhirnya. Reza langsung mengacungkan telunjuknya ke arahnya sendiri. Aku langsung terbengong dibuatnya.
“ Apaan tuh?!!”, aku langsung tertawa terbahak – bahak.
“ Iiihhh…, kok malah ketawa sih??”, rengek Reza yang dibuat-buat.
“ Tapi Rez……………apa mungkin gue masih bisa memperbaiki semuanya?”, tanyaku ragu – ragu.
“ Tentu saja donk Mel!. Apa sih yang tidak mungkin di dunia ini?. Asalkan ada kemauan dan usaha, pasti semuanya bisa dilakukan!”, kata Reza dengan bijak.
“ Thanks ya Rez, lo emang temen gue yang paling baik”, aku mengedipkan sebelah mataku.
“ Oya…..Mel lo tau nggak?”, Reza langsung memandangku dengan pandangan serius.
“ Apa?”, akupun jadi ikut-ikutan serius.
“ Tadi pas lo curhat. Itu kalimat terpanjang lo yang pernah gue denger seumur hidup gue”, katanya jujur, aku langsung tertawa dan menjitak kepalanya.
“ Dan asal lo tau Rez……, baru kali ini gue denger seorang Reza bisa bicara sebijak tadi. Nyontek dari mana tuh??”, candaku.
“ Waduh??”, Reza hanya tertawa saja mendengarnya.
Apakah mungkin aku akan mendapatkan perubahan besar dalam hidupku kedepannya nanti?.

* * * *

Matahari adalah sumber kehidupan di dunia ini. Tanpa matahari…..dunia bukanlah dunia yang sebenarnya. Dengan matahari…..dunia terasa lebih indah dan berwarna. Tetapi matahari dalam diri setiap manusia, tak akan datang dengan sendirinya. Harus ada kemauan dalam diri sendiri. Pandang lurus kedepan, seperti sorotan sinar matahari. Maka, matahari yang tersembunyipun akan tibul dalam jiwa kita. Jangan menyerah dan jangan putus asa !. Raihlah jati diri dan arti kehidupan yang sebenarnya dari dalam dirimu. Karena suatu saat nanti, itu pasti akan dipertanggung jawabkan.
“ Amel… kok bengong?”, tanya seorang gadis berkuncir dua yang sedang memegang sapu, karena sedang tugas piket.
“ Ah nggak, hari ini mesti piket ya Lin?”, tanyaku sambil tersenyum.
“ Iya nih, mana kelasnya kotor banget lagi!”, keluhnya.
“ Hahahaa… yang sabar ya… apa mau gue bantuin?”, tanyaku menawarkan jasa.
“ Kayaknya nggak usah deh, tuh pangeran lo udah nungguin di depan pintu” katanya membuatku langsung menoleh ke arah pintu kelas. Terlihat seorang cowok sedang bersandar di pintu sambil tersenyum manis. Aku langsung tersenyum, kemudian merangkul ranselku sambil bangkit.
“ Duluan yah Lin…”, pamitku sambil menepuk pundaknya.
“ Maaf nggak bisa bantu”, lanjutku.
“ Iya, nggak apa-apa kok. Sudah sana, yayangmu sudah nungguin tuh!”, godanya, aku hanya tertawa pelan sambil berjalan ke arah Reza.
Reza langsung merangkulku, lalu mengacak-acak rambutku sambil berjalan ke luar ke arah gerbang sekolah.
“ Gimana hari ini? menyenangkan?”, tanyanya.
“ Yup!”, aku langsung mengangguk senang.
“ Kalau begitu, aku sekarang boleh main ke rumah kamu ya?”, pintanya.
“ Boleh saja, tapi sekalian bantuin beres-beres rumah yah?”, kataku sambil terkekeh pelan.
“ Iya deeehh…dasar yayangku inii”, sekali lagi Reza mengacak-acak rambutku, dan kami langsung tertawa cengengesan.
Kini aku merasakan matahari bersinar terang di hatiku. Aku dapat merasakan suatu kebahagiaan yang tak dapat kuungkapkan dengan kata-kata.
Guys, jangan pernah menyerah dan putus asa ya?. Berusahalah terus untuk mendapatkan MATAHARIMU sendiri !!.

                                                                                - The end - 

                                 Amel said, " where my sun ? , help me God ! "

Fie Chan Here~

Fie Chan Here~
Fie always here (reading a manga), please contact me whenever wou want. keyy ? :D